Sahabat, kita memang layaknya seperti kata pepatah kacang yang lupa sama kulit, khususnya tatkala kita harus berhadapan dengan (((kenyataan))) bahwa hari ini kita ada orang paling sibuk dengan pekerjaan, orang paling penting di kalangan fans dan penggemar, orang dengan jabatan tertinggi diperusahaan, orang paling dirindukan oleh jurnalis atau wartawan, kita adalah orang paling cantik nan menggemaskan dimata lelaki dan perempuan, orang paling kaya seantero negeri timur-barat, hingga utara-selatan. Sehingga dengan pongahnya kita merasa pantas untuk mengatakan,

“Maaf Ma, aku lagi sibuk, mama urus aja sendiri ya keperluannya!”

Kadang begitu menyedihkan perkara yang seperti ini. Beberapa waktu lalu saya pun mendengar kisah pilu seorang anak yang tak tahu diri membakar rumahnya karena orang tuanya tak menuruti apa yang menjadi keinginannya. Sampai segitunya!

Kita memang tak dapat menjustifikasi keadaan dari satu sudut pandang. Banyak hal yang bisa saja menjadi alasan kuat dari hal tersebut. Pertama, bisa jadi hal tersebut bagian dari refleksi kisah lama karena ternyata orang tua si anak juga sosok yang durhaka kepada orang tuanya dahulu, sehingga anaknya pun kini tak berbakti kepadanya.

Kedua, bisa jadi ada kebaikan yang Allah pesankan dibalik kejadian tersebut. Karena memang banyak hal yang tak kasat dimata manusia. Sebagaimana Allah berfirman, Dan Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui (QS. al-Baqarah: 232). Sebagaimana hikmah dari kisah Nabi Musa yang ikut bersama Nabi Khidir, banyak hal yang tidak kita ketahui apa sejatinya yang terjadi khususnya tatkala Nabi Khidir membunuh seorang anak, karena orang tua mereka orang beriman sementara anak ini akan tubuh dewasa dan akan mendorong orang tuanya menjadi sesat dan kufur. Kembali pada kisah seorang anak yang membakar rumah orang tuanya, bisa jadi hal ini merupakan ladang amal kebaikan bagi orang tua. Ada ujian dengan anak yang durhaka, dengan sabar, maka ujian tersebut menjadi tabungan pahala bagi mereka.

Sahabat, bagaimanapun kita menolak fakta untuk tidak berbakti kepada orang tua dengan mengatakan, ‘orang tua saya tak sayang sama saya, lalu mengapa saja harus berbakti kepada mereka’, tetap saja kita dalam posisi yang salah. Pertama, kita mungkin salah mengartikan makna ‘cinta dan kasih dan sayang’. Dan kebanyakan anak tergelincir dalam hal ini.

Terkadang cinta orang tua itu berwujud sikap yang keras dan tegas, agar kita mengerti dengan baik bahwa hidup ini bahkan jauh lebih keras dari itu. Sehingga kita punya modal dan terbiasa dengan situasi yang berat tersebut. Tidak canggung. Tidak takut. Tahan banting dan tidak gampang menyerah. Mungkin pada awalnya hal tersebut membuat kita takut, tapi itulah yang mendidik kita menjadi orang baik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buya Hamka,

Hanya orang takut yang bisa jadi berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakuti. Maka bila merasa takut, anda akan punya kesempatan untuk bersikap berani

Terkadang cinta itu berwujud mulut yang cerewet dan hardikan untuk terus berbuat baik, disiplin, selalu shalat tepat waktu. Kita memang kesal dan gusar, tapi orang tua punya pandangan yang lebih jauh. Menjadi seusia mereka tentu telah banyak yang dilihatnya, banyak yang telah dialaminya, dan banyak pelajaran yang diteguknya, serta banyak kegagalan yang tak ingin diulanginya. Akal pendek kita bilang, “Apalaaah mama papa ini, BISA ENGGAK mulutnya gak kayak perkutut!”

Begitulah, salah memaknai ini menjadi masalah sepanjang tahun dalam gejolak sosial masyarakat kita.

Sahabat, tapi bagaimanapun akhirnya hidup kita mengukir cerita, apakah kita menjadi orang sukses dan kaya, atau orang miskin dengan dompet tiap hari meronta, maka orang tua, apalagi Ibu tetaplah prioritas dalam hidup ini. Kita boleh tak merasakan surga di dunia, tapi jangan sampai kita juga tidak merasakan surga di akhirat.

Salah satu hadits yang cukup populer ditengah kita, sangat baik untuk kita renungi lagi sesaat. Ketika seorang sahabat Nabi berkata kepada beliau Shalallahu alaihi wasallam, “Ya Rasulullah , aku ingin berangkat perang maka aku minta nasihatmu”

Maka Nabi berkata, “Apakah engkau masih memiliki Ibu?”

Masih ya Rasulullah

Bersamailah Ibumu karena sesungguhnya surga ada ditelapak kakinya

(HR. Ahmad no. 15538 dan Nasa’i no.3104)

Begitu juga dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, seorang lelaki bertanya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling layak untuk aku perlakukan dengan baik?‘ Nabi menjawab, ‘Ibumu’, kemudian dia berkata, ‘setelah itu, siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu’, ‘Lalu siapa lagi?’, ‘Ibumu’, ‘lalu setelah itu siapa lagi?’, Nabi menjawab, ‘Bapakmu’ (HR. Bukhari 5971 dan Muslim 2548)

Sahabat, mumpung kita masih ada waktu untuk membahagiakan keduanya, maka segeralah. Betapa banyak buah hati yang menyesal sedalam-dalamnya tatkala menolak permintaan sederhana dari Ibunya, eh tahu-tahunya itulah permintaan terakhir dari seorang wanita yang dari rahimnya kita lahir. Dari air susunya kita makan dan minum. Dari kasih sayangnya kita dirawat dan disayang. Dari air mata dan doanya langkah-langkah kita dimudahkan. Dari pengorbanannya kita terselamatkan.

Ukurlah! seberapalah berjasa istri kita, seberapalah pentingnya bos kita, seberapalah besar transaksi rupiah kita, sehingga hal tersebut menjadi lebih penting dari dia yang sepanjang hidupnya dia habiskan untuk memikirkan kita, mendoakan, berharap-harap cemas takala kita jauh terpisah.

Sekali lagi, mungkin hari ini dimata manusia kita hidup ibarat dalam neraka, duit tak ada, jodoh tak nampak, prestasi gelap gulita, pekerjaan morat marit, tapi jangan sampai di akhirat kita tak merasakan nikmatnya surga.

#renungandiri

Radikal Yuda
@Meja Belajar, O’Connor, Canberra ACT, Australia 29 Maret 2020.
Referensi: Kitab al-Kabair syarh Syaikh Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah al-Fauzan, p.591.593