Ketika kita menemukan suatu pertemuan yang begitu membahagiakan, maka kita pun harus siap dengan kehilangan yang begitu menyakitkan.

Begitulah yang perasaan seluruh alam tatkala tibalah kabar kelahiran Nabi shalallahu alaihi wasallam.

Dalam pembahasan kitab an-nurul yaqiin yang membahas secara ringkas perjalanan hidup Nabi shalallahu alaihi wasallam, salah satu poin yang saya rasa sangat penting adalah momen tatkala kelahiran Nabi.

Salah seorang ahli astronomi Mahmud Basa mengatakan bahwa Nabi lahir pada pagi hari senin 9 Rabiul awal, bertepatan dengan satu tahun selepas terjadinya penyerangan tentara gajah. Beliau lahir dirumah pamannya, Abu Thalib, yang berada pada dua bukit pemukimannya Bani Hasyim.

Tatkala momen lahiran ini, paman dan kakek beliau merasa sangat bahagia. Ya, tentulah ya. Apalagi kalau kita simak, bayi yang lahir ini merupakan anak Abdullah, seorang putra pembesar Quraysi yang paling dicintai, Abdul Muthalib.

Bayi yang lahir itu diberi nama Muhammad.

Tapi tahukah sahabat, nama Muhammad pada masa itu adalah suatu kata yang asing, sangat tidak familiar, tidak ada sebelumnya bayi lahir lalu dikasih nama Muhammad. Tapi begitulah takdir Allah, ada sesuatu yang mendorong keluarganya untuk memberi nama bayi kecil itu Muhammad. Ini sebagai bukti bahwa nama tersebut sebagaimana yang termaktub dalam risalah para anbiya terdahulu dan dalam kitab taurat maupun injil, merupakan suatu skenario yang memang telah ditakdirkan oleh Allah azza wa jalla.

Orang pertama yang mengasuh Muhammad adalah Ummu Aiman Barkah al-Habbasiyah, seorang budak ayahnya, Abdullah. Sementara orang yang pertama menyusui beliau adalah Ardho’ah Tsuwaibah, budak dari pahamannya Abu Lahab.

Salah satu kebiasaan orang jazirah arab pada masa dulu adalah mencarikan Ibu susu buat anak-anak mereka dari daerah bawadiy, yaitu daerah yang jauh dari pemukiman kota. Orang-orangnya biasa kita kenal dengan orang arab badui.

Ada keyakinan di kalangan orang-orang dulu bahwasanya anak-anak yang hidup di perkampungan itu jadi lebih kuat, lebih pandai, sementara anak-anak yang di asuh di kota akan jadi lebih manja, lebih lemah, dan lebih lemot otaknya. Itu tradisi mereka terdahulu. Percaya? Entahlah, mungkin perlu riset khusus untuk poin yang satu ini.

Maka singkat cerita, jadilah Halimah binti Abi Dzuaib as-Sa’diyyah menjadi Ibu susu beliau, atau biasa yang kita kenal Halimah as-Sa’diyyah karena berasal dari bani saad. Banyak kisah menarik saat beliau shalallahu alaihi wasallam di asuh oleh Halimah. Hingga akhirnya pada suatu peristiwa dada beliau dibelah oleh malaikat, sehingga Halimah merasa khawatir, dan mengembalikan beliau kepada Ibu kandungnya, Aminah, selepas empat tahun merawat balita yang penuh berkah tersebut.

Terkait dengan tanggal kelahiran Nabi, maka tidak ada satupun riwayat yang mengabarkan tentang hal ini. Baik itu riwayat shahih ataupun riwayat dhaif. Mayoritas informasi yang dikumpulkan hanya berdasarkan perhitungan dan perkiraan mundur dari para ahli penanggalan ataupun ahli astronomi. Sehingga banyak sekali khilaf ulama tarikh (ahli sejarah) dalam hal ini. Ada yang mengatakan lahir dibulan Rabiul awal, ada pula yang tidak. Kemudian mereka yang sepakat Rabiul awal, pun berselisih lagi tanggal berapanya, ada yang bilang tanggal 9, tanggal 10, tanggal 12, dan lainnya. Sehingga tidak pasti.

Kenapa demikian? karena memang tanggal lahir itu tidak begitu penting, karena tidak ada kaitannya dengan Ibadah. Nabi dan para sahabat juga dulu tidak terlalu perhatian dengan tanggal lahir mereka. Berbeda dengan tanggal-tanggal penting yang memang disebutkan dalam nash, seperti sepuluh hari bulan Dzulhijjah, keutamaan sepuluh terakhir Ramadhan, puasa di bulan ini dan ditanggal itu, buaanyak sekali riwayatnya.

Selepas memang tidak ada kepastian soal kapan Nabi lahir. Maka memang Islam tidak pernah mengajarkan perayaan dan ibadah dengan mengaitkan dengan hari lahir. Jika memang hari lahir itu penting, maka tentu sahabat telah melakukan perayaan untuk mengagungkan orang yang paling mereka cintai.

Tentu sangat mudah bagi mereka untuk melakukan perayaan besar atau bahkan sangat besar untuk hari lahirnya Nabi, lha wong ngasih seluruh harta, ngasih istri, berkorban nyawa untuk Nabi aja mereka dengan senang hati melakukan. Apalagi cuman sekedar untuk melakukan perayaan terhadap hari lahir Nabi. Mudah sekali. Tapi mereka tidak lakukan. Kenapa? karena memang Nabi tidak mengajarkan.

Terkait dengan hobi membuat perayaan ini, pada dasarnya adalah hobinya orang Yahudi. Sebagaimana dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa suatu ketika orang Yahudi bertemu dengan Umar bin Khattab, lalu mereka mengatakan, andaikan kami tahu kapan terakhir kalinya diturunkan wahyu, maka pasti kami akan melakukan perayaan. Lalu Umar mengatakan, bahkan saya tahu pasti kapan al-Quran untuk terakhir kalinya diturunkan, harinya, tanggalnya, dan persis jamnya. Yaitu saat diturunkan al-Maidah ayat 3

لْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

…telah Aku sempurnakan agama kalian, telah aku cukupkan bagi kalian nikmatku, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agama kalian…

Tapi kami, saya tidak merayakannya, kata Umar. Hal ini mengisyarakatkan kepada kita semua bahwasanya soal raya-merayakan, menggelar pesta dan sebagainya merupakan salah satu adat yang melekat erat dengan orang Yahudi.

Sementara Islam, kita hanya disyariatkan untuk memiliki 3 perayaan saja. Yaitu Idul Fitri, Idul Adha, dan perayaan pekanan, hari Jumat. Selebihnya tidak ada.

Sebagaimana dalam Hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Ketika Nabi datang ke Madinah, penduduk madinah dulu memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang pada masa jahiliyah. Maka Nabi mengatakan kepada mereka, Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu yaumul fitr dan yaumul nahr (maksudnya Idul Fitri dan Idul Adha) (HR. Nasa’i no.1556)

Coba lihat, maksud perayaan orang-orang madinah pada waktu itu bukan untuk ibadah, melainkan hanya untuk senang-senang dan main-main. Apakah senang-senang dalam Islam dibolehkan? ya, pada dasarnya mubah. Tapi dalam hal perayaan, maka nabi katakan, tidak lagi, karena sudah ada dua hari yang lebih baik untuk mengganti dua hari senang-senang tersebut.

/Radikal Yuda @Canberra ACT, Australia
Referensi: Kitab at-Ta’liiq ‘ala Nur al-Yaqiin fi siiroti sayyidi al-Mursalin, Syaikh al-Alamah Muhammad ibn Shaalih al-Utsaimiin, p.24-25