Untuk soal makanan, tentu saja kita akan memilah milih mana warung dan masakan yang sesuai dengan lidah kita. Ya, masalah selera itu masalah urgen. Kenapa urgen? bisa jadi seseorang itu tidak makan, hanya gara-gara “tidak selera” dengan masakannya.
Oleh karena itu, ketika kita menemukan warung yang dirasa “pas” masakannya, kita akan berulang ke sana. Oke deh, semua itu adalah hal wajar yang sudah menjadi siklus alami dalam kehidupan manusia. Tempat makan yang ramai adalah yang enak masakannya
Namun, tahu tidak kita? ternyata jika di tanyakan kepada setiap orang yang berjualan makanan, dia akan bilang “masakannya sudah paling enak, bumbunya sudah sangat pas, bahan-bahannya sudah lengkap…”. Setiap warung punya standar enak masing-masing. Ya, betul saja. Ini semua masalah rasa.
Baik, kita lanjut ke topik.
Pernah tidak kita berfikir, ketika ada warung yang sepi. Tidak ada pengunjung. Tidak terlihat hiruk-pikuk di sana. Sudah siang, tapi yang di perdagangkan belum ada yang laku. Pernahkah kita mencoba untuk memasang cara pandang ketika mencari makanan dengan mindset “Berbagi rejeki dengan orang lain”
Cara pandang ini, berbagi rejeki dengan orang lain ternyata sangat berharga lho.
Okee meskipun kita tetap perlu mencari “tempat yang enak” untuk makan. Tapi sesekali kita bisa mencoba untuk mencari “tempat untuk berbagi rejeki” dengan orang lain.
Mau makan? coba hampiri saja warung yang sepi. Sedikit pembiasaan kecil yang mungkin mengubah cara pandang kita keseluruhan.
“Tidakkah kita turut merasakan bahagia yang lebih, tatkala kita melihat saudara kita bahagia?”
“Alhamdulillaah, ternyata ada juga yang belanja hari ini…” gumaman kecil di hati pedagang seperti ini mungkin sangat berharga baginya. TIdak kita pungkiri, dibelakangnya ada anak-anak yang mesti diberi nafkah, ada tanggungan hidup yang mesti ia penuhi dan sebagainya.
Hati itu punya makanannya sendiri. Makanan yang enak itu nutrisi fisik. Namun hati, nutrisinya adalah dengan saling berbagi kebaikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ
“Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad no. 7576 dan 9018)
Ingat juga perkataan Ummul mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau merasa takut bahwa dirinya terancam saat menerima wahyu pertama,
كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا وَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka membantu orang yang tidak punya, menjamu tamu, dan sentiasa mendukung kebenaran.” (HR. Al-Bukhari no. 4572 dan Muslim no. 231)
InsyaAllah, semua aktivitas kita bisa menjadi amal ibadah, jikalau niatnya adalah karena Allah, membantu orang lain, berbuat baik, tentunya dengan akhlak yang baik itu menjadi pintu bagi kita untuk mendakwahkan tauhid kepada mereka. Karena muara dari semua kebaikan akhlak adalah mentauhidkan Allah Taala.
Disusun oleh: Radikal Yuda
@Hotel Anggraini, Brebes.
Artikel : muslimplus.or.id