Waktu membuat kita terlena. Sejumput harapan dulu telah pudar. Tak banyak yang bertahan. Beratnya pergaulan dan misi eksistensi diri membuat seseorang bisa saja kehilangan jati diri. Ibarat sebuah perusahaan, ada misi-visi serta setting goals yang tidak sama. Berbeda. Tanpa perbedaan, perusahaan akan kalah bersaing. Ia hanya buih dari banyak buih di hamparan pantai. Kemana gelombang pergi, ke sana ia akan hanyut.

Begitu pula kita. Saat kita lupa misi-visi pribadi kita, maka akan mudah sekali kita terhanyut ke kiri dan ke kanan. Ia tak berarti. Ia tak bisa jadi pegangan. Seperti halnya ketika banjir, rumput tak dapat jadi pegangan. Sebaliknya, pada pohon kuat dan kokohlah kita berpegang. Karena kita tahu, pohon kokoh tersebut bisa jadi penopang agar tidak hanyut dibawa arus.

Tipe-tipe seperti ini tidak banyak. Karena mereka tenggelam dalam timbunan lumpur. Harus ada upaya untuk mendapatkannya. Orang seperti ini ibarat emas. Jumlah sedikit. Tapi mahal. Meski berada di tengah lumpur, ia tetap barang berharga yang akan selalu dibutuhkan manusia.

Meski kita belum bisa menjadi pribadi yang kokoh. Belum bisa menjadi pohon yang kokoh. Belum bisa menjadi emas yang berharga. Tapi niat haruslah tetap di depan. Meski realisasinya masih amburadul.

Masih ingatkah kita? Mungkin ketika berangkat dari kampung kemarin. Atau mungkin ketika ramadhan yang lalu. Kita telah berjanji untuk berubah. Kita berjanji untuk jadi lebih baik. Masih ingat?

Tepatilah janji.

Allah telah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. Shâf:2-3)

 

Penyusun : Radikal Yuda Utama

@Pogung Dalangan, Yogyakarta