Berijtihad dalam berbagai masalah ada syarat-syaratnya. Tidak setiap orang berhak untuk memberi fatwa dan berbicara tentang berbagai masalah kecuali berdasarkan ilmu dan menguasainya, mampu mengetahui dalil-dalilnya, baik berupa nash maupun realita, yang shahih dan dha’if (lemah), nasikh (penghapus) dan mansukh (terhapus), mantuq (tersurat) dan mafhum (tersirat), khusus dan umum, mutlaq dan terikat, yang global dan terperinci. Di samping itu, harus melalui pengkajian yang matang, mengetahui pembagian-pembagian fikih dan topik-topik bahasan, juga pendapat-pendapat ulama dan fuqaha serta hafal nash-nash dan memahaminya.

Tidak diragukan lagi bahwa pengacauan fatwa tanpa penguasaan adalah dosa besar, juga berbicara tanpa landasan ilmu. Allah telah menyerukan.

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-ngadakan kebohongan terhaap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (An-Nahl: 116)

Dalam Hadits pun disebutkan

Man uftiya bighairi ‘ilmin kaana itsmuhu ‘ala man aftaahu

“Barangsiapa yang diberikan fatwa tanpa landasan ilmu maka dosanya menjadi tanggungan yang memberi fatwa” (HR. Ahmad, 2/321)

Hendaknya penuntut ilmu tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dan tidak berbicara tentang suatu masalah kecuali setelah megnetahui sumber ucapannya beserta dalilnya dan orang yang berpendapat seperti itu sebelumnya.

Jika belum menguasai maka hendaklah ia menahan dirinya dan membatasai pada msalah yang diketahuinya saja serta melaksanakan apa yang telah dicapainya dan melanjutkan belajar dan memahami hingga mencapai tingkat yang  layak untuk berijtihad. Hanya Allah lah yang mampu memberi petunjuk kepada kebenaran.

Sumber : Al-lu’lu al-makin, dari fatwa syaikh Ibn Jibrin, hal 72-73. Disalin dari Fatwa-fatwaTerkini Jilid 2, Darul Haq.