Beberapa saat lalu akhirnya ku buka. Tabir yang selama ini ku tutup rapat-rapat.
“Kosong? Apa-apaan ini? Dimana semuanya?”
Aku termenung. Semuanya hampa. Tiada yang ku gapai melainkan lelah yang cepat menjalar ke seluruh tubuh.
Kehampaan itu bagai ruang kosong, tapi bukan kelapangan. Ia bahkan mencekat kata-kata, atau ruang napas, hingga yang di sini tertunduk lemah meratapi. Hampa mengkosongkan segalanya, arti kerja keras menjadi tak bermakna.
?Tugas yang selalu menumpuk yang dikerjakan hingga larut malam. Akhirnya tahajjud terlewatkan, tilawah terabaikan, hingga subuh pun tak terjamah.
?Kerja keras menyukseskan acara, dengan niat berbangga dan eksistensi. Lalu untuk umat? Atau untuk peradaban bahkan agama? Aku tak menahu.
?Berteman karena ‘nyambung’ atau senasib, bagaimana letak Allah di sana? Mencintai karena Allah?
?Mengejar ilmu untuk memuaskan akal, bisa berargumen dengan fasih tanpa tahu hal itu mengacaukan iman.
Semakin ku tulis, semakin terungkap apa-apa yang tertutup. Bukan tertutup, menutupkan diri tepatnya.
“Cukup Allah bagiku” itu ucapan terindah dan dalam maknanya. Penuhi Allah, Dia tanpa ragu memenuhi kita. Fokus kepada-Nya, maka semua terasa ringan jauh dari hampa. Meski gagal tak mengapa, karena niat terbaik telah tertulis dalam catatan amal kita.
Semua karena Allah, secara otomatis mengarahkan perilaku kita dengan ketentuanNya.
Dan semua itu indah untuk kita.
?By : Dian Novita?
Yogyakarta, 12 Oktober 2016
www.muslimplus.or.id