Jika hanya melantunkan dengan lisan semua orang pun mampu untuk melakukannya. Yang menjadi persoalan sejauh mana kita memahami dan mengerti apa yang telah kita lantunkan itu.

Di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wassalam masyarkat Arab pada waktu itu sangat paham dan mengerti mengenai makna syahadat. Oleh karenanya pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengumpulkan para pemimpin quraisy dari kalangan Bani Hasyim.

Rasulullah bertanya: “wahai saudaraku mau kah engkau aku beri kalimat, yang mana dengan kalimat itu kalian dapat menguasai seluruh daerah Jazirah Arab?” Maka denga tegas abu jahal menjawab. “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimatpun aku terima.” Kemudian Rasulullah bersabda. “Ucapkanlah kalimat Laillaha illallah muhammadan Rasulullah,”

Apa reaksi abu jahal pada saat itu? “Kalo kalimat itu yang engkau pinta, berarti engkau telah mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Abu jahal sangat paham betul dengan makna itu. Ia paham bahwa ketika ia bersedia melantunkan kalimat syahadat, apa konsekuensi yang harus ia terima yang telah diatur rapi oleh agama islam ini, olehnya karenanya ia dengan tegas menolak itu.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah benar-benar memahami apa yang terkandung didalam syahadat yang telah kita lantunkan atau bahkan seting kita melantunkannya didalam shalat ataupun diluar shalat.

Syahadat bukan hanya sekedar dilisan saja, tapi justru harus ada bukti penjelmaan didalam kehidupan kita sehari-hari. Jika syahadat hanya dilantunkan dilisan saja maka cukuplah adik atau saudara kita yang masih kecil bisa melantunkan dengan begitu fasihnya.

– Jember, asrama ditemani rintik hujan. 20 Oktober 2016.

Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.or.id