Jika diizinkan untuk bertanya berapa jam kita menghabiskan waktu untuk beribadah dan bermunajat kepadanya?
Berapa peser uang yang telah kita sedekah kan dalam Perbulannya?
Mungkin diantara kita ada yang malu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tapi tak apalah jika tidak dijawab saat ini, setidaknya pernah lihat atau baca pertanyaan itu.
Menyadari juga kok mengenai bahwa kita lebih sibuk dengan urusan-urusan dunia kita. Ketimbang dengan urusan terbaik dan abadi akhirat.
Seolah kita adalah insan tersibuk. Untuk berkomunikasi dengan pencipta diri ini saja harus menyempatkannya. Seolah sangat pelit sekali dengan waktu.
Tidak hanya itu, untuk bersedekah saja harus mencari sisa kehidupan rupiah. Tak Sadarkah bahwa seluruh waktu yang kita miliki, jatah usia yang masih tergenggam, bahkan extra time hidup yang masih kita mainkan.
Tidakkah seharusnya semua itu kita persembahkan untuk yang menciptakan langit dan bumi ini.
Dia maha adil, tapi mengapa kita tidak adil? Contoh sederhana ketika telepon genggam yang sedang kita pegang ini berdering, tanda ada panggilan masuk.
Apa yang kita lakukan?
Bergegas mengangkat telepon itu, khawatir dia yang memanggil lewat telepon itu orang yang penting.
Tapi realitanya. Ketika panggilan dari yang maha agung, dari yang maha adil dan dari yang maha sempura, kita lalai untuk memenuhinya. Malas untuk menyapanya.
Padahal Dialah sang pencipta langit dan bumi, sang pencipta diri ini. Jika Dia menginginkan memberhentikan denyut nadi kita saat ini. Maka itu bukanlah hal mustahil untuk-Nya.
Perhatikan sejenak saat sang muadzin memanggil dengan kata “hayya lasolah” dan “hayya lalfallah” apakah artinya itu. Mengajak untuk menegakan shalat dan mengajak kepada kemenangan.
Tidak terketuk kah saat suara indah tembus dan masuk kedalam relung pendengaran ini. Atau malah acuh seolah tak terjadi apa-apa.
– Jember, ditemani senja menanti panggilan-Nya untuk berbuka puasa. 11 Oktober 2016.
Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.or.id