Mencintai-Nya adalah awal memahami hakikat penciptaan. Mengerti bahwa hidup ini fana. Mengerti bahwa ada kehidupan lagi yang kekal yang akan mempertemukan kita dengan wajah-Nya. Kita mengharapkan pertemuan denganNya.

Namun bagaimana bertemu jika tidak berjalan menuju-Nya? Dia selalu menolong. Padahal, seringnya doa tak dipanjatkan. Sungguh malu mengingat masa-masa di mana kesenangan datang untuk membuat kita bahagia. Namun tak pernah mencoba menyukurinya.

Kita sering meminta lebih agresif saat waktu pengabulan dirasa mendesak. Tidak mustahil bagi Allah Yang Maha Baik Lagi Maha Mendengar dan Tidak Tidur untuk mengabulkan apapun pinta. Namun kita seakan tidak tahu diri, sadar diri di saat sempit dan melupa di saat lapang. Dan ini adalah kebanyakan kita. Hamba-hamba lemah yang perlu diingatkan. Hamba-hamba yang tidak sedikitpun memiliki daya kekuatan tanpa kekuatan-Nya. Sekerdil itu kita. Maka, tiadalah pantas menyombongkan diri.

Sesungguhnya cinta membuat hati berpaut. Begitu juga dengan mencintai-Nya. Merasa selalu dijaga oleh-Nya. Berharap dan bersandar hanya pada-Nya. Sesungguhnya cinta membuat kita takluk. Taat pada perintah. Berserah diri. Tidak lagi bertanya untuk apa begini dan begitu. Hanya taat.

Sejatinya kita memang budak. Namun budak dari Dzat Maha Pengasih dan Penyayang. Dia mencukupi hajat baik diminta atau tidak. Kita ini budak. Budak dari Raja Yang Maha Menghidupi. Sehingga, seharusnya kita tidak takut miskin, sebab Raja kita ialah Dzat Maha Kaya. Budak dari Raja Yang Maha Lembut dan Maha Penyayang, sehingga seharusnya kita tidak takut didzholimi.
Tembok kerinduanku tidak kuhancurkan. Namun aku kuatkan dengan doa dan amal shalih. Berharap bertemu dengan-Nya. Mampu melihat wajah-Nya. Semakin tebal rindu untuk berjumpa dengan-Nya. Dzat yang Maha Indah, memiliki dan menyukai keindahan.

Dalam Bab Marifatullah Kitab Terjemah Fawaidul Fawaid, Ibnu Qoyyim berkata, Keindahan Allah cukup ditunjukkan bahwa seandainya hijab dibuka dari wajah-Nya, sinar kemuliaan akan membakar makhluk yang terlihat hingga akhir pandangan-Nya (yakni akan membakar semua ciptaan-Nya).
Bagaimana aku mencintai Allah sebelum mengenal-Nya? Bagaimana pula aku menjadi perantara orang mencintai Allah sebelum mengenalkan-Nya?

Dalam matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah oleh Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata, “Kami mengatakan tentang tauhid kepada Allah dengan yakin akan taufik Allah, ‘Sesungguhnya Allah adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.’

‘Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya.’

‘Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.’

‘Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.’

‘Mahadahulu tanpa permulaan, Mahaabadi tanpa berkesudahan.’

‘Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.’

Menariknya, dalam catatan kaki yang membahas poin ‘Mahadahulu tanpa permulaan, Mahaabadi tanpa berkesudahan.’ Al-qodiimu bukan termasuk nama-nama Allah. Di antara nama-nama-Nya adalah al-Awwalu (Yang Mahaawal), karena al-qodiimu (Yang Mahadahulu) memiliki kemungkinan didahului oleh sesuatu, sedangkan al-Awwalu (Yang Mahaawal) tidak ada kemungkinan didahului oleh sesuatu pun. Rasulullaah bersabda, “Engkau-lah Yang Mahaawal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu.”

Akan tetapi Imam ath-Thahawi bersikap hati-hati. Beliau mengatakan, “Yang Mahadahulu tanpa permulaan.” Seandainya beliau hanya mengatakan “Yang Mahadahulu” lalu beliau diam sampai di situ, maka ini tidak benar dari segi makna. (At-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala Matn al-Aqidah ath-Thahawiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan).

Tidakkah hatimu tenang mengenal-Nya dengan nama dan sifat-Nya yang indah?

Depok, 24 September 2016

Penulis: Rizqi Choiriah
Muroja’ah: Dwi Puji Astuti, M.Sc

Artikel: Muslimplus.or.id