“Berapa pak” tanya aku sambil berdiri tepat disamping kaca mobil bagian depan. “Delapan ribu dek” membalas sopir angkot itu. Tangan ku berusaha meraih dompet yang berada disaku. Ku keluarkan selembaran sepuluh ribu. Maka sopir itu memberikan kembaliannya.
“Merak mas Merak” tawar sang calo yang tiba-tiba muncul dari belakang. Maksudnya menawarkan bis dengan tujuan Merak. Aku menggeleng “engga bang”.
Cuaca cukup terik, jam tangan mengisyaratkan kepada ku bahwa saat ini pukul 13:25. Mentari masih tetap menyiram. Terpaksa ku tutup kepala ini dengan penutup jaket.
Sahut menyahut kondektur dibibir pintu bis, dengan gaya menggantung. Mobil yang saling mepet menutup celah, berebut penumpang. Kebul asap menutup birunya langit.
Ku arahkan pandangan ini ke sekitar nampaknya mereka sedang asik dan sibuk sendiri membetulkan ban, rem, kopling dengan noda oli yang mewarnai tangan-tangan mereka. Pedang yang saling berjajar dibahu-bahu jalan. Beraneka ragam, ada jual buah-buahan, gorengan, air mineral sandal dan sepatu.
“Cianjur aa, cianjur aa” dengan intonasi tinggi dan logat Sunda kondektur itu memanggil. Dengan sigap aku berlari dan megahampiri bis itu.
Ku perhatikan sekitar untuk mencari bangku yang kosong, alhamdulilah dapat dua kursi belakang tepat dibelakang supir. “Cianjur-cianjur-cianjur!” Kicau kondektur terus menarik penumpang untuk terus memenuhi bis. Tak lama setelah kicauan terakhir bis penuh. Loh-loh kenapa saat bangku sudah terisi penuh kondektur tidak berhenti berkicau.
Penumpang masih saja berbondong-bondong memadati bis. Karena bangku sudah terisi penuh terpaksa mereka harus berdiri selama berjam-jam sambil menikmati perjalanan.
Ketika aku sudah dalam posisi duduk yang mantap dibangku. Disebrang bangku yang lain tepat disebelah kiri masih tersisa satu. Tiba-tiba ibu beserta babynya duduk disitu dan sang ayah terpaksa harus berdiri karena bangku sudah habis. Ku perhatikan bayi sangat lucu, rambut sedikit pirang, mata bulat hitam yang indah kulitnya putih. Baby kisaran satu tahun. Jari-jemarinya yang masih lembut ditambah empat gigi kecil yang terpasang diatas dan dibawah. Ingin sekali aku mencubit pipi tembemnya.
Saat bis penuh penumpang saling berdesakan, ibunda baby itu masih berusaha mengeluarkan makanan untuk sang baby. Pertama mengeluarkan nasi kemudian disusul dengan lauk berupa semangkuk sup. Dengan sabar ibunda menyuapinya terkadang baby tidak mau diam bergerak kesamping. Menarik apa yang ia lihat dan menggoda penumpang lain.
Ketika sudah kenyang. Ia tetap bergerak tak mau diam. Sesekali menjambak rambut sang ayah, tapi sang ayah tetap tersenyum dan menggoda baby itu. Entah sebab apa tiba-tiba ia menangis kencang sekencangnya. Sontak para penumpang kaget dan bingung mencari dari mana asal suara itu.
Dengan cekatan ibunda berusaha memberhentikan tangis baby itu. Berbagai cara ia lakukan, menggengondong walau dalam keadaan desak-desakan, menunjuk keluar jendela dengan tujuan mengalihkan perhatian tetap saja nihil baby itu masih terus berteriak. Dikasih ini minta itu dikasih itu minta yang lain, membuat ibunda bingung apa yang diinginkan sang baby. Sang ayah berusaha mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya. Tangannya masuk kedalam tas dan saat dikeluarkan ternyata empeng yang ia dapat. Langsung ia berikan kepada baby itu.
Isak tangisnya berhenti setelah sang ayah memberinya empeng itu. Baby terlihat sangat senang sekali, seketika itu juga ia berhenti. Ibunda mendekapnya dengan pelukan hangatnya.
“Tahu, tahu, cai, cai, rujak, rujak…” Tiba-tiba suara itu memotong keheningan. Ternyata saat tadi bis menurunkan penumpang, pedagang asongan itu ikut naik. Dari bagian belakang, terus berjalan ke depan sambil menawarkan dagangannya. Tepat disamping wajah ia menawarkan maka aku menggeleng.
Termenung sejenak, jadi seperti itukah aku disaat masih dalam pangkuan ibunda dan ayah ku, merengek, menangis, memaksa untuk meminta sesuatu. Benar saja yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan oleh nabi bahwa wajib bagi kita untuk berbakti kepada mereka. Karena begitu agung pengorbanan dan pengabdiannya untuk kita.
Betapa tidak pantasnya, jika kita melawan dan membantah ucapan atau perbuatan mereka. Seberapa besar balasan yang kita berikan untuk mereka maka tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasa mereka. Sampai kapan itu.
Sambil menikmati pemandangan diluar tiba-tiba mataku terpejam. Beberapa jam berlalu tak terasa. “Cianjur habis, cianjur habis, cianjur habis!” Teriak pak kondektur. Membangunkan para penumpang yang terlelap dalam tidurnya.
*cai bahasa Sunda artinya air
Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.or.id
@terminal cianjur sedang menanti jemputan.