“Mudah saja bagimu mengatakan ‘sudah maafkan saja’ kamu engga merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini”
Mungkin diantara kita pernah mendengar potongan kalimat atau percakapan di atas. Atau malah kita sendiri yang mengatakan hal demikian. Terkadang memang kita belum sanggup untuk menerima itu semua. Belum bisa melakukannya.
Entah karena rasa kecewa yang mendalam yang pernah menggores dasar hati. Seolah tak ada celah maaf atas kesalahan yang pernah terjadi. Atau karena rasa gengsi yang lebih besar sehingga menimpa niat baik itu. Menjalankan hidup dengan dasar bersosial tak menutup kemungkinan terjadinya gesekan atau bahkan benturan masalah.
Saat berada disekolahkan, kampus, tempat berorganisasi dan lain sebagainya. Kesenjangan antara murid senior dan junior, antara teman fakultas atau beda pendapat saat mengangkat sebuah pendapat. Pergelutan antara hati terjadi. Yang satu ingin dihormati, yang satu ingin dimengerti dan yang satunya lagi ingin disepakati.
Begitulah hidup bersosial, liku masalahnya selalu terbentang. Tinggal kembali kepada kitanya saja. Apakah kita berani menjadi orang yang memiliki kekuatan hati untuk bisa saling berlapang atau bergengsi diri menutup celah. Tidaklah terbesit untuk bisa menjadi pemaaf, kalo belum bisa ingatlah bahwa Dia Dzat yang maha pencipta selalu memaafkan kekeliruan yang hamba-hamba-Nya selalu ukir.
Ketika tergelincir dan masuk ke lubang yang sama, Dia masih tetap memaafkan. Pintu maaf-Nya selalu terbuka lebar untuk mereka mau kembali. Yang jadi soal kenapa kita sebagai hamba masih sulit untuk melakukannya.
“Jika sulit bagimu memaafkan, ingatlah betapa mudahnya Allah memaafkan. Jika masih sulit memaafkan, ingatlah betapa engkau ingin agar Allah mudah memaafkan” (Akmal Sjafril)
Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.net