Ketika di dalam sebuah gerbong kereta api tepat diurutan gerbong nomor lima, terlihat beberapa pemuda dan pemudi menggendong tas gunung besar dengan kisaran 60-80 L. Lengkap dengan jaket tebal untuk mengatasi Cengkraman udara dingin, kemudian ditambah aksesoris kupluk yang menempel dikepala.

Didalam hati aku mencoba bertanya “apakah sebuah kebahagiaan itu didapat oleh mereka-mereka yang mampu melewati dinginnya malam, terjalnya jalan bebatuan dan tingginya gunung, dengan secangkir kopi tepat berada digenggamannya sambil menikmati sang surya yang melambaikan dan menyiramkan cahayanya tepat diwajah, apakah seperti itu kebahagiaan itu?”

Tak lama setelah itu aku mengambil posisi duduk, tiket yang ku pegang memberitahukan kepada ku, bahwa aku tepat duduk disebelah jendela. Kereta mulai merayap dan meninggalkan sarangnya, diperjalanan aku mulai kembali memikirkan soal itu lagi.

“Kembali hati ku berkata, apakah kebahagiaan itu milik mereka yang memiliki harta melimpah, rumah megah dan kendaraan mewah? Jika itu benarnya, apalah daya ku”
Kembali ku tinggalkan soal itu. Tak lama kemudian seorang bapak separuh baya menawarkan beberapa cemilan kepada ku, tanpa berfikir panjang, aku langsung menyambarnya.

Kami berbincang santai, mulai bertanya mengenai nama, asal daerah, kuliah dimana, dan masih banyak yang lainnya. Setelah kereta berjalan berjam-jam meninggalkan sarangnya rasa kantuk mulai hinggap, tak butuh waktu lama mata ini sudah terpejam.

Setelah beberapa jam berhibernasi, akhirnya aku terbangun, kembali memikirkan hal itu. Tidak mau terus dihantui rasa penasaran oleh soal yang terus bertanya-tanya. Aku kumpulkan beberapa keberanian didiri ini, setelah semuanya mantap, aku berusaha membuka mulut dan menanyakan soal itu, ke bapak sebelahku.

“Pak boleh saya bertanya?” Bapak dengan posisi duduk yang rapih itu sedikit terkejut. “Iya nak soal apa itu?” Dengan nada lembut dia membalas dan raut wajah yang istimewa. “Ini pak, saya mau tanya perihal kebahagiaan, sebenarnya dimana sih letak kebahagiaan itu?”
Bapak itu sedikit mengangkat bibir atasnya tersenyum. “Nak pernah mendengar sabda manusia terbaik yang pernah menginjakkan telapak kakinya dimuka bumi ini, yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi nak orang yang memiliki harta melimpah, bukan jaminan bahwa dia adalah orang yang bahagia. Tapi kebahagiaan itu letaknya disini” memberi isyarat sambil menunjuk kearah dadanya. “Oh gitu pak, terima kasih yah pak atas jawabynya” senyum lebar kuberikan tanda apresiasi atas jawabannya.

Setelah beberapa lama berbincang, aku kembali termenung, mengkaji dan mengulang apa yang telah disampaikan bapak tadi. Berkata hati ini untuk menarik sebuah kesimpulan. “Berarti orang yang bisa menaklukkan tingginya gunung, memiliki harta melimpah ruah bukan barometer seseorang untuk bisa merasakan kebahagiaan, lalu apalah dayaku, dua kriteria itu tidak ada melekat didiriku, mungkin jika benar mereka merasakan kebahagian, itu hanya bersifat sementara, setelah semuanya usai, maka usai juga kebahagiaannya”

Kereta mulai melewati pemandangan sawah-sawah, maka kunikmati hamparan hijaunya pemandangan itu dengan kuhadapakan wajah ke arah jendela.

Penulis: Fitra Aryasandi
Artikel: muslimplus.net