Give business ideas and headhunter concepts.

Give business ideas and headhunter concepts.

Prof Mudrajad Kuncoro Ph.D | Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM

MARKET intelligence. Itulah pengetahuan yang dibutuhkan diplomat dan atase perdagangan Indonesia. Pasalnya, kendati surplus perdagangan Indonesia mulai surplus, namun ketergantungan impor bahan baku masih tinggi dan arah ekspor Indonesia masih terbatas ke beberapa negara.

Pesan ini saya sampaikan ketika memberikan materi ‘Pemantapan substansi bagi pejabat diplomatik konsuler dan pejabat perbantuan’ yang akan ditempatkan di KBRI, PTRI, dan Konjen RI di semua negara di dunia. Acara di Kantor Bupati Bantul ini diselenggarakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Asia Pasifik dan Afrika serta Ditjen Amerika dan Eropa, ditujukan untuk mempersiapkan para diplomat kita agar memahami substansi mengenai kebijakan ekonomi, peluang, dan tantangannya, khususnya dalam bidang pariwisata, perdagangan, perindustrian, dan investasi.

Neraca perdagangan Indonesia pada periode Maret 2015 mencatat peningkatan surplus menjadi 1,13 miliar dolar AS dari surplus 0,66 miliar dolar AS pada bulan sebelumnya. Surplus ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan surplus neraca perdagangan di bulan yang sama di 2014, yang sebesar 0,68 miliar dolar AS. Pencapaian tersebut terutama ditopang meningkatnya surplus pada neraca nonmigas, sementara neraca migas kembali mengalami defisit.

Ke mana arah ekspor kita? Ekspor nonmigas ke Amerika Serikat (AS) Maret 2015 mencapai angka terbesar 1,33 miliar dolar AS, disusul Jepang 1,28 miliar dolar AS dan Tiongkok 1,11 miliar dolar AS, dengan kontribusi ketiganya mencapai 31,69%. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) 1,22 miliar dolar AS.

Nilai impor Januari-Maret 2015 mencapai 36,70 miliar dolar AS atau turun 15,1% dibanding periode yang sama 2014. Nilai impor terdiri impor migas 6,10 miliar dolar AS (turun 44,53%) dan nonmigas 30,60 miliar dolar AS (turun 5,05%). Tiga negara asal barang impor nonmigas terbesar Januari-Maret 2015 adalah Tiongkok dengan nilai 7,46 miliar dolar AS (24,37%), Jepang 3,70 miliar dolar AS (12,10%), dan Thailand 2,13 miliar dolar AS (6,97%). Impor nonmigas dari ASEAN mencapai pangsa 21,09%, sementara dari Uni Eropa 9,15%.
Di tengah krisis Eropa dan AS yang belum terlihat kapan berakhirnya, kita perlu lebih proaktif dan jeli melakukan total global strategy

. Strategi diversifikasi pasar kita masih ‘setengah hati’, pasar ekspor kita masih terkonsentrasi ke China, Jepang, AS, India, dan Singapura. Total ekspor nonmigas ke 10 negara utama mencapai 71,9 miliar AS, sementara ke 10emerging market

hanya 318,2 juta dolar AS. Ekspor ke 10 mitra dagang utama turun kecuali ke China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara ekspor ke emerging market

seperti Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, naik signifikan meski nilainya relatif kecil.

Para diplomat dan Kementerian Perdagangan perlu lebih mengoptimalkanmarket intelligence

di semua negara, khususnya di mana produk ekspor kita berdaya saing. Pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan 19 Indonesian Trade Promotion Center dan 25 atase perdagangan di semua negara untuk identifikasi peluang pasar, informasi kebutuhan produk, hambatan perdagangan, investor yang sudah/akan investasi di Indonesia, distributor, eksportir-importir, dan jalur logistik.

Strategi diversifikasi pasar dan produk ekspor tak akan berhasil bila masalah ekonomi biaya tinggi di dalam negeri tak dibenahi. Interkonektivitas antara pusat-pusat produksi produk ekspor dengan bandara dan pelabuhan laut masih banyak menghadapi hambatan. Seperti pungutan liar, minim, buruknya infrastruktur jalan, tingginya biaya terminal handling charges

serta biaya logistik yang relatif mahal dan belum kompetitif di ASEAN.
Kelemahan mendasar produk ekspor kita adalah masih sangat tinggi kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen. Kandungan impor berkisar 28-90%. Dengan kata lain, strategi substitusi impor perlu digalakkan. Krisis kedelai di Indonesia harusnya dijadikan momentum untuk peningkatan produksi kedelai dalam negeri, terutama di sentra penghasil kedelai, dan meninjau ulang tata niaga kedelai.

Strategi ekspor kita perlu diubah menjadi berbasis keunggulan kompetitif, yaitu bergeser dari produk berbasis buruh murah dan kaya SDA menjadi berbasis tenaga kerja terampil, padat teknologi, dan dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tanpa perubahan mendasar dalam strategi perdagangan dan kebijakan ekonomi politik luar negeri, kinerja perdagangan kita bisa memburuk. Semoga Indonesia tidak hanya jadi penonton, tapi menjadi pemain di era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. (*)

Sumber :

http://mudrajad.com/parasisten/market-intelligence/  di akses 11 November 2015