pasar rakyat

Denni Puspa Purbasari, Ph.D

 

Economists often argue that trade policies in practice are dominated by special-interest politics rather than by consideration of national costs and benefitsIf this argument is correct, it may be better to advocate free trade without exceptions even though on purely economic grounds, free trade may not always be the best conceivable policy.”

Paul Krugman, International Economics: Theory & Policy, 2012

Sekali lagi, pengrajin tahu-tempe mogok. Sama seperti Juli tahun lalu, gara-garanya harga kedelai naik. Bak kaset yang diputar ulang, tudingan kartel pun kembali terdengar; namun hampir tak ada suara ibu-ibu mengeluhkan naiknya harga tahu-tempe, atau mengecilnya ukuran kedua makanan ini. Menanggapi tuntutan pengrajin tahu-tempe dan petani kedelai sejak tahun lalu, Menteri Perdagangan akhirnya mengeluarkan satu paket peraturan tentang kedelai pada tanggal 28 Mei 2013 yang meliputi aturan lisensi impor, harga patokan bawah (untuk petani), dan harga patokan atas (untuk pengrajin). Niatannya baik: membuat petani terlindungi dari jatuhnya harga kedelai pada saat panen,sekaligus melindungi pengrajin tahu-tempe dari kenaikan harga kedelai. Aturan ini pun disambut oleh Kementerian Pertanian yang ingin mencapai target swasembada kedelai pada tahun 2014. Meskipun terdengar masuk akal, apakah kebijakan ini tepat?

Pada tahun 2012, luas panen kedelai kita tinggal 600 ribu ha, menyusut 60 persen dibandingkan tahun 1995 (BPS). Dari angka itu, lebih dari 50 persen ditanam di sawah-sawah (bukan tegalan) di Jawa. Penurunan ini bukan saja karena konversi lahan, namun juga karena di lahan yang ada petani melakukan—dalam bahasa ekonomi—optimisasi. Yaitu, given lahan, cuaca, waktu, modal, harga kedelai, harga tanaman lain, harga benih, harga pupuk, pengetahuan, teknologi, upah tenaga kerja dan lainnya, petani memilih jenis tanaman yang menurut mereka paling menguntungkan. Dalam konteks pertanian di lahan sawah di Jawa pada saat ini, petani umumnya memilih pola tanam padi-padi-palawija, dengan kedelai di urutan paling bontot untuk kelompok palawija karena paling tidak menguntungkan. Karena itulah,ketika luas lahan kedelai turun, luas lahan jagung malah naik—mengindikasikan adanya crop competition. Jika demikian, maka argumen yang mengatakan bahwa produksi kedelai dapat dinaikkan bila ada pembukaan lahan baru, belum tentu benar; karena, optimisasi akan menggiring petani/pengusaha menanam tanaman selain kedelai yang lebih menguntungkan.

Karena luas lahan turun, produksi kedelai pun turun. Pada tahun 2012, produksi kedelai Indonesia hanya 780 ribu ton. Dibagi dengan luas lahan (600 ribu ha), produktivitas lahan hanya sekitar 1,3 ton per ha. Angka ini jauh lebih rendah daripada produktivitas kedelai dengan bibit unggul yang berkisar 2,2-3 ton per ha. Padahal, dengan luas lahan yang sama, produksi kedelai dapat meningkat dua kali lipat bila produktivitas kedelai meningkat dua kali lipat menjadi 2,6 ton per ha. Dengan produktivitas hanya 1,3 ton dan harga kedelai Rp6.000 per kilo (sebelum kenaikan akhir-akhir ini), petani rugi. Namun kita jangan buru-buru terharu. Catat bahwa palawija hanya ditanam pada musim kering, setelah sebelumnya petani menanam dua kali padi—yang menguntungkan. Naiknya harga kedelai impor saat ini tentu saja membuat petani senang. Mereka tak lagi butuh support harga beli petani dalam Permendag yang ditetapkan sebesar Rp7.100 per kilo, karena bisa menjual kedelai minimal Rp7.000 per kilo.

Beralih ke sisi konsumsi, pengrajin tahu-tempe adalah konsumen langsung kedelai. Namun, rumah tanggalah konsumen akhirnya. Kebutuhan kedelai Indonesia tahun 2012 sekitar 2,5 juta ton. Dari jumlah ini, 1,7 juta ton disuplai dari impor, yang 97 persennya berasal dari Amerika Serikat. Ini bukan soal konspirasi kapitalis atau nasionalisme kita yang luntur. Faktanya, tempe yang kita sukai adalah tempe yang kedelainya putih, utuh, besar, kulitnya empuk, minus kerikil. Karenanya, pengrajin tempe kita hanya menggunakan kedelai impor apalagi ketersediaannya andal. Jadi dalam produksi tempe, tak ada substitusi kedelai impor dan lokal. Pengrajin tahu sebaliknya, tidak terlalu pickysoal kualitas, karena toh semua kedelai akan dihancurkan. Bagi mereka yang penting barangnya ada dan harganya cocok.

Adanya crop competition dan imperfect substitutability antara kedelai impor dengan lokal ini semestinya dipertimbangkan betul-betul oleh Kementerian Pertanian dalam mengusung program swasembada kedelai. Selain itu, berbeda dengan pasar beras internasional yang hanya memperdagangkan 8 persen produksi beras dunia, pasar kedelai internasional sangat besar. Dari total produksi dunia yang mencapai 267 juta ton, sekitar 37 persennya diperdagangkan. Artinya, ketika kebutuhan kedelai dalam negeri tidak mencukupi, Indonesia dapat dengan mudah mengakses kedelai dari pasar internasional. Karena itu, kebijakan beras perlu dibedakan dengan kedelai.Apalagi, porsi tahu-tempe dalam konsumsi rumah tangga kita tidak sebesarberas.

Beralih pada isu harga kedelai yang melonjak, banyak suara menuding ada kartel di balik kenaikan ini. Padahal, dengan Rupiah yang melemah, harga kedelai impor yang tidak naik sekalipun (saat ini 14 dollar per bushel, lebih rendah daripada tahun 2012 yang hampir mencapai 18 dollar) akan meningkat dalam Rupiah. Kenaikan ini tidak hanya terjadi untuk kedelai, tapi semua produk impor, apakah itu bahan baku, barang modal, atau barang jadi. Jadi, tidak ada yang eksklusif atau berbeda pada kedelai. Namun tampaknya hanya pengrajin tahu-tempe dan KOPTI saja yang menganggap kenaikan ini luar biasa dan karenanya menuntut pemerintah ikut intervensi.

Masalahnya adalah, dengan keran impor yang paling longgar sekalipundanhedging, harga kedelai di Indonesia tidak akan bisa kurang dariharga jual ke pengrajin dalam Permendag, yang terakhir ditetapkan sebesar Rp8.490 per kilo. Alasannya, harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT), ditambah dengan biaya transportasi dari green belt ke Gulf/Pacific North West kemudian ke Asia, ditambah tarif 5 persen, dan dirupiahkan, sudah mencapai Rp9.050 per kilo—per 10 September 2013. Ini belum termasuk biaya pengemasan, pergudangan, dan distribusi dari kapal ke distributor hingga ritel. (Catat bahwa komponen-komponen biaya pembentuk Rp9.050 tersebut transparan, dalam arti semuanya dapat diakses oleh publik.)

Kita seringkali curiga pada mekanisme pasar dan modal. Padahal, selama proses entry-exit di pasar berlangsung secara bebas dan murah, plus, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengawasi, persaingan akan menjamin kebutuhan kedelai domestik tercukupi dengan harga yang bersaing. Sebagai contoh, importir besar seperti FKSMA barangkali akan cenderung mengimpor kedelai dalam bentuk bulk (sekapal penuh) untuk dijual di Jawa. Di pasar bulk, ia mungkin dilawan oleh pemodal besar lain seperti GCU dan Car. Tidak hanya itu. Para pemodal besar ini juga akan “diganggu” pasarnya oleh para pemodal kecil yang mengimpor secara ketengan lewat kontainer. Pemodal kecil ini akan melayani pasar-pasar yang memang efisien untuk pengadaan skala kecil, karena selain lebih gesit, pengadaannya bisa lebih cepat. Oleh karena itu, tak heran pangsa pasar bulk hanya sekitar 56 persen dari total impor pada tahun 2012 lalu.

Namun di sinilah masalahnya. Dengan dikeluarkannya Permendag, impor kedelai tak lagi bebas; karena, untuk mengimpor, importir harus mendapatkan lisensi impor. Kapan lisensi ini keluar, dan berapa banyak kuantitas impor yang diizinkan, tidak diketahui pasti. Sebagai syarat untuk mendapatkan lisensi, importir harus menunjukkan bukti pembelian kedelai lokal yang sudah diverifikasi. Padahal, kedelai lokal lokasinya tersebar, jangkauan pasarnya terbatas, dan jumlah produksinya tidak diketahui pasti karena petani belum tentu menanam kedelai. Verifikasi pembelian pun menjadi persoalan. Ini semua menciptakan ketidakpastian.

Keputusan Pemerintah yang akhirnya mengabulkan seluruh usulan importir baik swasta, BULOG, dan koperasi sudah tepat. Namun ini belum cukup. Pertama, keputusan tersebut tidak menghapuskan ketidakpastian, terutamapasca 2013. Kedua, transparansi sistem kuota (siapa mendapat jatah berapa) tidak sebaik rezim importir umum. Ketiga, bila pada akhirnya (i) harga beli petani tidak lagi relevan, (ii) harga jual ke pengrajin tidak mungkin di bawah Rp8.490, (iii) syarat pembelian kedelai petani sulit diverifikasi dan di-enforced, dan (iv) kuantitas yang diminta importir pada akhirnya disetujui, mengapa sistem lisensi kedelai masih dipertahankan? Saya kira keberpihakan kepada petani sangat beralasan. Namun ketika petani kita sudah senang dengan harga tinggi, dan ibu-ibu pun tidak ribut dengan naiknya harga tahu-tempe (seperti pada daging atau cabai),sadly, saya cuma bisa teringat kutipan Paul Krugman di atas.Karena, siapapun yang belajar Ekonomi 101 pasti tahu bahwa price controlmenyebabkan hilangnya efisiensi, dan kuota lebih buruk daripada tarif karena tidak transparan dan membuka peluang rente. Tapi toh masih saja dilakukan. Entahlah

 

(Dimuat di Majalah Tempo, Edisi 7–13 Oktober 2013)

Available at : http://dennipurbasari.web.id/ekonomi/ekonomi-kedelai-101/#more-30