Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D | Guru besar FEB UGM
Sedih dan prihatin. Betapa tidak. Membaca laporan Bank Dunia yang berjudulDoing Business 2014 (DB2014), Indonesia menempati peringkat 120 dari 189 negara. Ini menurun 4 tingkat dibanding tahun sebelumnya yang menempati peringkat ke-116. Di tahun politik, presiden SBY dan calon presiden Indonesia tahun depan perlu mencermati secara serius di mana kelemahan Indonesia dalam menciptakan iklim bisnis yang kondusif.
Bagi para pengambil keputusan, DB2014 menyajikan bagaimana kemudahan berbisnis di suatu negara dibanding negara lain. Dibanding negara tetangga kita di ASEAN, peringkat Indonesia menempati posisi paling bawah. Malaysia melakukan banyak reformasi kebijakan hingga menempati peringkat ke-6, diikuti Thailand dan Filipina yang masing-masing berada peringkat 18 dan 108. Dengan kata lain, reformasi kebijakan dan perubahan lingkungan bisnis telah terjadi di Indonesia namun negara tetangga kita telah “berlari” jauh meninggalkan kita. Kebanyakan negara Asia Timur dan Pasifik berada di peringkat 88. Peringkat Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibanding India (134) dan Kamboja (137). Ironisnya, peringkat Indonesia pada tahun 2013 merosot dibanding tahun 2005. Artinya, bila peringkat Indonesia merosot, persepsi pebisnis dan investor dunia terhadap Indonesia juga memburuk, minimal menurun.
Pertanyaannya, mengapa posisi Indonesia memburuk meski pemerintah sudah mengeluarkan berbagai paket kebijakan? Indikator apa yang memburuk dan butuh perhatian khusus?
DB2014 mencatat indikator yang masih buruk terutama adalah memulai bisnis, melaksanakan kontrak, mengatasi insolvensi, membayar pajak, dan mendapatkan listrik. Memulai bisnis di Indonesia masih membutuhkan 10 prosedur, memakan waktu 48 hari, memakan biaya hingga 20,5% dari pendapatan per kapita, dan memerlukan modal minimal yang dibayar 38,5% dari pendapatan per kapita.
Listrik merupakan infrastruktur vital bagi dunia bisnis. DB2014 menilai Indonesia berada di peringkat 121 karena untuk mendapat akses listrik masih membutuhkan 6 jenis prosedur dan memakan waktu 121 hari, dan harus merogoh biaya yang cukup mahal (370,6% dari pendapatan per kapita) untuk dapat dialiri listrik. Kebutuhan pasokan listrik dirasakan semakin meningkat, terutama dalam mendukung akselerasi kegiatan produksi dan ekonomi nasional. Kendati demikian, hingga saat ini, tingkat elektrifikasi nasional baru mencapai 72,95 persen, dengan rasio jumlah desa berlistrik baru mencapai 92,58 persen. Bahkan bila kita ke kawasan Indonesia bagian timur, masih banyak daerah yang tingkat elektrifikasinya masih di bawah 50 persen.
Temuan DB2014 tersebut sejalan dengan survei yang dilakukan oleh WEF (World Economic Forum). WEF menunjukkan terdapat 12 pilar utama dalam penentuan dayasaing global yaitu institusi (birokrasi), infrastruktur, lingkungan makroekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan, pendidikan lanjutan dan pelatihan, pasar barang yang efisien, pasar tenaga kerja yang efisien, pertumbuhan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar (market size). Pada tahun 2013, masalah utama dalam melakukan bisnis/investasi di Indonesia adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, korupsi, dan infrastruktur yang belum memadai.
Berbagai studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 telah memperburuk iklim bisnis di Indonesia. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai Peraturan Daerah yang tidak “pro-bisnis” diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perijinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar, serta gratifikasi yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman.
Seorang investor yang ingin membangun rumah sederhana (RS), baru-baru ini, mengeluh kepada saya. Bayangkan saja ia ingin membangun 50 RS untuk masyarakat golongan menengah ke bawah. Waktu berurusan dengan para pejabat daerah, dari level kepala dusun, lurah/kades hingga camat, para birokrat lokal ini meminta “uang amplop” Rp 2 juta per rumah. Pengembang ini menghitung berarti harus mengeluarkan minimal biaya Rp 100 juta sebagai “sunk cost” di awal investasi. Ini belum kalau nanti 50 rumah tsb sudah selesai, tetangga kiri kanan plus ketua RT/RW juga meminta “susu tante”, alias “sumbangan sukarela tanpa tekanan” minimal Rp 6 juta sebagai biaya sosialisasi kepada warga. Di berbagai daerah, bupati atau walikota juga meminta biaya berbagai perijinan, dari ijin gangguan (HO), IMB (Ijin Mendirikan Bangunan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SIUP dll, yang bervariasi dari Rp 50 juta hingga Rp 2 milyar. Oleh karena itu, tidak mengejutkan bahwa Bank Dunia menghitung bahwa biaya perijinan dan birokrasi di Indonesia mencapai 20,5% dari pendapatan per kapita serta memerlukan modal minimal yang dibayar 38,5% dari pendapatan per kapita.
Berbagai upaya perbaikan iklim bisnis dan menggairahkan investasi bukannya tidak dilakukan. Sejak era presiden Megawati dicanangkan “Tahun Investasi”. Di bawah kepemimpinan SBY-JK, pemerintah mengeluarkan Inpres No.3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Paket Inpres No.6 tahun 2007, dan Inpres No. 5 tahun 2008, yang intinya menjabarkan reformasi kebijakan iklim bisnis dan investasi dalam berbagai rencana aksi dan tindakan. Di era SBY-Boediono, berbagai paket kebijakan dan MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) juga diluncurkan. Apa yang kurang?
Harus diakui sudah banyak paket kebijakan dan perencanaan, namun yang kurang adalah implementasi, pemantauan, dan sangsi. Seorang mantan menteri ekonomi di era Soeharto, dalam Konferensi Gurubesar Indonesia, bilang kepada saya, yang kurang dari pemerintah SBY adalah “who are the doers?”, siapa pelaksana dan penanggung jawab dari masing-masing kebijakan dan rencana aksi harus berani bertanggung jawab.
Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perijinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat.
Hambatan utama dan mendasar adalah para birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih banyak yang berperilaku sebagai “predator” dan belum menjadi fasilitator bagi dunia bisnis. Ini tantangan besar bagi pemerintah pusat dan daerah. Sudah sembilan tahun pemerintahan SBY berlalu, namun dunia usaha masih diwarnai ekonomi biaya tinggi. Berbagai kebijakan— seperti kenaikan harga BBM, kenaikan tarif listrik dan tol, kenaikan suku bunga, dan kenaikan upah minimum— telah memukul dunia usaha, baik besar maupun kecil. Akibatnya, daya saing produk dan defisit neraca perdagangan kita makin membengkak. Kekhawatiran para pelaku bisnis makin bertambah karena dibebani berbagai kenaikan tarif dan pajak. Kondisi lingkungan bisnis domestik cenderung mengakibatkan daya saing produk dan industri nasional kita semakin merosot. Ini yang dicatat dengan baik oleh DB2014.
Implikasinya, masih banyak “pekerjaan rumah” bagi pemerintah pusat dan daerah yang harus diprioritaskan. Sudah saatnya berhenti menebar pesona dan hanya peduli “politik pencitraan”. Meski kita masuk dalam tahun politik, perubahan orientasi kebijakan, bagaimana respon kebijakan, dan upaya serius memperbaiki implementasi kebijakan perlu diprioritaskan. Semoga harapan perubahan yang diinginkan rakyat, investor, dan pengusaha tidak hanya sekedar ”angin surga” yang bertiup kencang menjelang pemilu dan pilkada.
Sumber : http://mudrajad.com/parasisten/doing-business-2014/ 29 Muharram 1437 H