Oleh : Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D

membangun indonesia dari pinggiraan

Data Badan Pusat Statistik Januari 2015 menunjukkan tingkat kemiskinan menurun dari 16,66 persen di awal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah (2004), menjadi 14,15 persen di akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I (2009), bahkan menjadi 10,96 persen pada September 2014 dengan jumlah penduduk miskin masih sebanyak 27,73 juta orang. Angka terakhir ini hanya berkurang 0,87 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebesar 28,6 juta orang (11,46 persen). Rekor kemiskinan ini adalah paling rendah, baik besaran maupun persentasenya, sejak tahun 1970. Namun, yang perlu dicatat, penurunan kemiskinan masih di bawah target RPJMN dan terjadi perlambatan penurunan kemiskinan di akhir era SBY.

Mencermati fakta ini, tantangan utama pemerintah Joko Widodo (Jokowi) adalah bagaimana menurunkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan antargolongan pendapatan yang cenderung meningkat (lihat artikel saya, “Mengurangi Ketimpangan”, Kompas, 2/3/2013), dan kemiskinan yang masih substansial? Dalam dokumen resmi Kabinet Kerja yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019, Jokowi-JK menetapkan sasaran nasional hingga 2019: (1) pertumbuhan  ekonomi 5,8-8 persen; (2) kemiskinan menjadi 8-10,5 persen; (3) pengangguran turun menjadi 7-8 persen; (4) indeks gini turun dari 0,41 menjadi 0,36.

“Pinggiran” Indonesia

Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di perdesaan berkisar antara 14-20%, sementara di perkotaan hanya sekitar 8-14%. Kedua, kantong kemiskinan terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI), pantai selatan Jawa, dan pantai Barat Sumatra.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPD2T) menunjukkan masih ada 183 kabupaten yang tergolong tertinggal di Indonesia pada tahun 2015, dengan 70 persen di antaranya berada di KTI. Jumlah tersebut terdiri dari 149 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama 2004-2009 dan 34 daerah kabupaten baru hasil pemekaran. Penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah tertinggal karena: (1) letak geografisnya terpencil dan sulit dijangkau; (2) kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai; (3) kegiatan investasi dan produksi masih minim; (4) berada di kawasan perbatasan antar negara. Inilah asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah “pinggiran” karena berada di kawasan perbatasan, sulit dijangkau bahkan terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan memiliki infrastruktur seadanya.

Akibatnya, hingga akhir 2014, struktur  perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 58,51%, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sekitar 23,63%. KTI, sebagai kawasan pinggiran, hanya kebagian sisanya yaitu sekitar 17,96%. Singkatnya, pola unbalanced development di Indonesia masih terus terjadi, yang tercermin dari kuatnya  “pusat” (Jawa-Sumatra) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan “pinggiran” (KTI dan desa).

Untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata, Jokowi-JK memberi mandat kepada KDPD2T, yang disebut Nawakerja Prioritas. Dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh P2EB FEB UGM (15/10/2014), Menteri KDPD2T, Marwan Jafar, menjabarkan bahwa Nawakerja Prioritas itu meliputi 9 program jangka pendek unggulan yang harus segera diimplementasikan, yaitu: (1) perluncuran “Gerakan Desa Mandiri” di 5.000 desa; (2) pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di 5.000 desa; (3) pembentukan dan pengembangan 5.000 BUMDES (Badan Usaha Milik Desa); (4) Revitalisasi Pasar Desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan; (5) pembangunan infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5.000 Desa Mandiri; (6) penyiapan implementasi penyaluran Dana Desa Rp 1,4 miliar per desa secara bertahap; (7) penyaluran modal bagi koperasi/UMKM di 5.000 desa; (8) pilot project pelayanan publik jaringan koneksi online di 5.000 desa; (9) save villages di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil. Tujuan besar dari 9 program tersebut adalah mewujudkan desa mandiri, membangun infrastruktur yang menunjang perekonomian desa, penyaluran modal untuk koperasi, peluncuran sistem pelayanan publik online, dan menjaga desa-desa di wilayah perbatasan.

 

Langkah Stratejik

Pembangunan desa dan pengentasan daerah tertinggal tentu bukan suatu hal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Jelas ini bukan tugas KDPD2T saja. Kabinet Kerja Jokowi perlu melaksanakan UU Desa No. 6/2014 secara sistematis dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan kepada pemerintah desa, lembaga desa, dan rakyat desa dengan beberapa langkah stratejik dan “revolusioner”. Pertama, perlunya konsolidasi satuan kerja lintas kementerian/lembaga untuk memastikan berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa, dan semangat UU Desa. Termasuk dalam hal ini adalah penyusunan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP), yang diperlukan agar distribusi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa berjalan efektif, tidak bocor (dikorupsi), dan bertahap. Mayoritas dana tersebut harus diprioritaskan bagi pemberdayaan rakyat, usaha ekonomi desa, pasar, penguatan modal bagi UKM dan koperasi, pembangunan jalan/jembatan, dan penguatan BUMDES.

Kedua, menyelesaikan secepatnya masalah “perebutan wewenang” antara KDPD2T dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menangani desa. Tumpang tindih ini terjadi setelah Presiden Jokowi mengumumkan nomenklatur baru Kementerian Desa di mana sebelumnya pengelolaan dana desa itu memang dilakukan oleh Kemendagri. Dalam RAPBN-P  2015, pemerintah menambah alokasi anggaran desa dari Rp 9 triliun menjadi Rp 20 triliun sehingga setiap desa akan memperoleh anggaran sebesar Rp 750 juta untuk satu tahun anggaran. Rakyat sebenarnya tidak kaget bila Mendagri Tjahjo Kumolo (PDIP) dan Menteri Desa Marwan Ja’far (PKB) terkesan “rebutan dana desa”. Keberhasilan membangun desa agaknya merupakan agenda politik kedua partai ini untuk Pemilu 2019. Nuansa politiknya dinilai kental, bahkan dikawatirkan akan berpengaruh terhadap implementasi pembangunan desa dan penyaluran dana desa. Presiden Jokowi, didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, dikabarkan telah memimpin rapat terbatas kabinet guna membahas Urusan Desa Beserta Kelembagaan dan Penganggarannya (13/1/2015). Presiden Jokowi perlu segera mengambil sikap tegas untuk mengakhiri konflik antara kedua kementerian ini.

Ketiga, penanggulangan kemiskinan perlu dikombinasikan dengan pengembangan usaha ekonomi rakyat desa, termasuk di permukiman transmigrasi. Beberapa strategi diperlukan untuk memfasilitasi pengelolaan BUMDES, meningkatkan ketersediaan sarana prasarana produksi khususnya benih, pupuk, pasca panen, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala rumah tangga desa, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan permodalan, kesempatan berusaha,  pemasaran dan kewirausahaan, serta meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan teknologi tepat guna. Miskin terhadap akses modal merupakan masalah mendasar Usaha Kecil dan Mikro (UKM) di perdesaan. Selama ini UKM dianggap unbankable, tidak layak mendapat kredit perbankan karena ketiadaan dan atau kurangnya agunan. Untuk itu, perlu diperbanyak PPKD (Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah), seperti Jawa Timur dan Bali, yang menjamin resiko kredit yang diajukan oleh UKM. Filosofi Grameen Bank, sebuah organisasi kredit mikro yang dimulai di Bangladesh dan diadopsi hampir 130 negara yang memberikan pinjaman kredit kepada orang yang kurang mampu tanpa agunan, layak diterapkan karena sistem ini berangkat dari ide bahwa orang miskin memiliki kemampuan yang kurang digunakan.

Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak signifikan bisa jadi karena beberapa hal. Faktor yang dominan karena program kemiskinan terdistribusi di berbagai kementerian dan dinas, jalan sendiri-sendiri dan tidak terpadu. Ironisnya, survei membuktikan, kantong kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota kurang tersentuh program antikemiskinan. Pola ini disebut spaceless, tidak memperhatikan di mana lokasi kaum dhuafa berada. Dengan kata lain, peta spasial kemiskinan diperlukan agar dana desa dan pengentasan kemiskinan lebih terfokus.

Tantangan yang dihadapi para pejabat dan penggiat antikemiskinan tidak mudah. Pertama, sebagian besar alokasi APBN/APBD selama ini terserap untuk membiayai belanja pegawai, termasuk gaji, belanja barang yang ditujukan untuk untuk menggerakkan “mesin birokrasi daerah”. Tidak banyak ruang untuk mengurangi angka kemiskinan dengan biaya dan rencana inisiatif daerah. Kedua, program pengentasan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari program pemberantasan buta huruf, peningkatan akses air bersih, peningkatan akses kesehatan, dan penurunan angka balita kurang gizi. Untuk itu, perlu dirancang program antikemiskinan yang lebih menyentuh akar masalah kemiskinan dan tidak “karikatif”. Ketiga, permasalahan yang dihadapi adalah ketidakcocokan data rumah tangga miskin dengan kenyataan. Pihak kelurahan dan Ketua RT sangat jarang dilibatkan langsung dalam proses pendataan keluarga miskin. Kelemahan pendataan rakyat miskin adalah langsung dilakukan oleh tim kemiskinan (gabungan beberapa instansi) namun hasilnya tidak diklarifikasikan dengan kelurahan sehingga banyak data yang tidak valid. Pendataan keluarga miskin jangan hanya menggunakan metode wawancara saja tetapi harus dibarengi dengan cross check atau klarifikasi dengan tetangga,

Langkah stratejik keempat, RPJMN 2015-2019 menggariskan pembangunan bukan hanya untuk kelompok tertentu, tetapi untuk seluruh masyarakat di seluruh wilayah. Karena itu pembangunan harus dapat memperkecil ketimpangan yang ada, baik kesenjangan antarkelompok pendapatan, maupun kesenjangan antarwilayah, dengan prioritas wilayah desa (karena penduduk miskin sebagian besar tinggal di desa) dan wilayah pinggiran, khususnya luar Jawa-Sumatra atau KTI. Dalam konteks ini, menarik menyimak kembali laporan tahunan Bank Dunia (2009) yang berjudul World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography.  Bank Duniamenganjurkan proses transformasi spasial di Asia Timur, termasuk Indonesia, dengan membangun 3D, yaitu: kepadatan (density), mengurangi jarak (distance), dan menghilangkan sekat atau ketimpangan (division) dalam upaya untuk membuat pembangunan ekonomi menjadi lebih pesat dan inklusif. Makin tinggi kepadatan penduduk justru mendorong pertumbuhan kota. Makin pendek jarak antarlokasi, maka makin cepat perusahaan dan tenaga kerja berpindah mendekati peluang ekonomi. Makin kecil sekat atau ketimpangan antardaerah maka memperkecil hambatan masuk ke pasar global. Implikasinya bagi Indonesia, pengembangan ekonomi kawasan perdesaan, termasuk kawasan transmigrasi, perlu diintegrasikan dengan pengembangan perkotaan dan mendorong keterkaitan ekonomi antara desa-kota, pusat-pinggiran, KTI dan Kawasan Barat Indonesia. Sudah saatnya pemerintah Jokowi melanjutkan sisi positif MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia) di era SBY dan sekaligus menyusun “peta jalan” (roadmap) bagaimana mengintegrasikan program unggulan Nawacita (kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri) dengan pengembangan wilayah (desa, kota, kawasan).

Kelima, koordinasi merupakan kata kunci yang mudah diucapkan namun sering lemah dalam implementasi. Indonesia bisa jadi contoh negara lain apabila mampu mengkoordinasikan dan mensinkronkan tidak hanya program aksi pusat dan daerah dalam pengentasan kemiskinan tapi juga manajemen ZIS (zakat, infak, shodaqoh) dan CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan-perusahaan besar. Kongkritnya, saya mengusulkan pemerintah pusat dan daerah membentuk forummultistakeholders, yang melibatkan Apindo, Kadin, perbankan (Perbanas, Asbanda, Perbarindo), BI, MUI, pengelola ZIS, organisasi keagamaan, perusahaan yang punya CSR, untuk mengkoordinasi dan mensikronkan penyaluran dana di kantong-kantong kemiskinan dan daerah tertinggal.

“Perang” melawan kemiskinan dan ketimpangan sudah selayaknya menjadi agenda prioritas para pejabat pusat dan daerah. Itulah prioritas pembangunan saat ini. Masalah bangsa ini tidak hanya konflik KPK dan Polri. Nah, mari berlomba menurunkan kemiskinan dan ketimpangan dengan langkah nyata, bukan hanya retorika dan berpolemik. Kerja, kerja, kerja!

 

Available at :

http://mudrajad.com/parasisten/membangun-indonesia-dari-pinggiran/  di akses 11 November 2015