Memahami keadaan hati; sehat, sakit, ikhlas, riya, dan semua gejolaknya adalah cara terbaik untuk mendapatkan hati yang bersih saat menghadap Allah taala. Memiliki hati yang suci merupakan sumber kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Sebaliknya, mengabaikan kesehatannya merupakan sebab kesengsaraan dan kecelalakaan bagi pemiliknya. Hati yang bersih adalah bekal menuju kampung akhirat dan modal mengarungi kampung dunia.
Allah berfirman
(( يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ ))
“(yaitu) di hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syuaraa: 88-89)
Bersih dari semua penyakit dan noda pengotor hati. Berbuat karena-Nya dan berdakwah untuk mengagungkan agama-Nya. Selalu berharap pahala akhirat dan rida sang Pencipta. Demikianlah kondisi para sahabat nabi. Mereka lebih mulia dari kita karena ketulusan niat dan kesucian hati yang mereka miliki. Dalam sebuah riwayat disebutkan
” ما سبقكم أبوبكر بكثرة صلاة و لا صيام و لكن بشيئ وقر في قلبه و نصحه للخلق ”
“Abu Bakar –semoga Allah meridainya– lebih mulia dari kalian bukan karena banyak puasa dan sholat, tetapi karena beliau telah mendahului kalian dengan (keimanan dan keikhlasan) yang tertanam di dalam hatinya serta nasihat yang diberikannya untuk umat.”
Uwais Al-Qorni pun menjadi generasi tabiin yang terbaik karena keikhlasan dan ketulusannya dalam beramal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
إن خير التابعين رجل يقال له أويس…
“Sesungguhnya tabiin yang terbaik adalah laki-laki yang bernama Uwais” (HR. Muslim)
Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata
فانك في زمان كان أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم يتعوذون أن يدركوه ولهم من العلم ما ليس لنا ولهم من القدم ماليس لنا فكيف بنا حين أدركناه على قلة علم وقلة صبر وقلة أعوان على الخير وفساد من الناس وكدر من الدني
“Sesungguhnya kalian hidup pada suatu zaman yang para sahabat radiyallahu anhum berlindung agar tidak bertemu dengan zaman tersebut, padahal mereka memiliki perbekalan ilmu, kesabaran dan keteguhan dalam Islam. Lantas bagaimana keadaan kita yang menjumpai zaman tersebut dengan sedikit ilmu, sedikit kesabaran dan sedikitnya teman yang mengajak kepada kebaikan ditengah rusaknya manusia dan keruhnya masa?” (Hilyatul Auliya 6/376)
Kesungguhan untuk memperhatikan serta memperbaiki amalan hati adalah jalan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang salih setelahnya. Namun demikian, hati sangat mudah untuk berbolak-balik. Terlebih lagi di zaman ini, serangan syubhat dan syahwat datang bertubi-tubi menghujami hati. Kemana kita meminta pertolongan dan dimana kita mencari perlindungan? La haula wa la quwwata illa billah. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan.
@ Kutipan faidah khutbah Jumat yang disampaikan oleh Ust Beni Setiawan
Jumat 2 Oktober 2015
Penulis : Muhammad Abu Rivai