Menurut World Economic Forum (WEF) peringkat daya saing  Indonesia tahun 2012-2013 masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Bahkan menurut International Institute for Management Development (IMD) tahun 2013 daya saing Indonesia juga kalah dari Filipina (Kemenperin, 2013).

Sejatinya, sebagaimana yang disampaikan oleh Laura Tyson kompetisi dapat dimaknai sebagai “the ability to produce goods and services that meet the test of international competition, while our citizens enjoy a standard of living that is both rising and sustainable”. Definisi tersebut secara implisit mengisyaratkan bahwa suatu perekonomian perlu menghasilkan produk dagang yang dapat memenuhi permintaan domestic dan international market agar memacu  dayasaingnya (Tyson, 1992)

Tentu saja, untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tersebut butuh koordinasi yang bagus. Sementara beberapa poin yang secara internal masih perlu dibenahi antara lain penguatan koordinasi dan sinergitas  antara pusat dan daerah, penyempurnaan tata kelola birokrasi,  pemberantasan korupsi, serta percepatan peningkatan pembangunan infrastruktur serta masalah terkait daya saing atau kapabilitas perusahaan dalam mengelola sumberdaya.

Kompetisi menuntut pelakunya untuk mengkatrol dayasaingnya. Semisal perusahaan akan terus berkompetisi antara satu dengan yang lainnya dalam mengakses sumberdaya dan berusaha menguasai market share yang ada. Jika perusahaan tak mampu bersaing, bagaiman mungkin akan menguasai medan pertempuran?!

Bila kita boleh mengambil contoh. Dari timur, ada sebuah kekuatan besar yang datang dari negeri Tiongkok. Bukan dari saja karena penduduknya. Namun, juga sepak terjang dari industrynya. Memiliki dayasaingnya yang bagus. Data dari Forbes Global 2000 yang mengukur dan merilist perusahaan publik terbesar dan terkuat dunia yang diukur berdasarkan pendapatan, laba, aset dan kapitalisasi pasar  (Forbes, 2015) menyebutkan :  Empat bank terbesar China menempati posisi empat paling top sebagai perusahaan public terbesar di dunia. Industrial and Commercial Bank of China menempati urutan teratas dari daftar tersebut (beruntun tiga tahun belakangan).  Sepanjang 15 tahun belakangan, andil China pada perdagangan manufactur meningkat 11 persen dari sisi ekspor. Sector manufactur sendiri merupakan sector utama ekonomi China. Tercatat 35 persen dari keseluruhan nilai GDP. (UNIDO, 2013)

Bila dibandingkan dengan China, posisi Indonesia sangat jauh tertinggal. Contoh lainnya ialah optimalisasi dari sumberdaya timah. Coba lihat produk turunan timah yang diproduksi China, sungguh-sunggh banyak. Coba cek, barang-barang elektronik anda, dimanakah dibuat? Besarnya jumlah produk turunan timah China dibandingkan Indonesia, ibarat gajah dan kuman. Sungguh kecil, bahkan tidak terlihat. Produksi barang-barang elektronik kita belum sebaik China.

Sejatinya begitu banyak penelitian dan observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Bagaimana mengoptimalkan potensi lokal negara kita. Bagaimana mengembangkan industry dalam negeri. Inovasi seperti apa yang dibutuhkan dan sebagainya. Salah satu sumber mengungkapkan bahwa mengungkapkan bahwa suatu struktur industry yang optimal haruslah sesuai dengan struktur endowment suatu negara—seperti struktur labor and skill, struktur modal dan sumberdaya (Chang, H-J. and Lin, J. , 2009)

Kemudian, dimensi pokok dari projek yang disampaikan OECD  ‘Framework condition for industrial competitiveness’ adalah mewujudkan dayasaing suatu negara yang di ukur dengan, (i) kemampuan menjual produk dan jasa (untuk memenuhi tantangan ekternal) (ii) kemampuan mengelola factor-faktor yang mendatangkan income sesuai dengan ideologi bangsa, dan (iii) kemampuan untuk mengoptimalkan kondisi ekonomi makro, lingkngan, dan system social  (Hatzichronoglou, 1996)

OECD menyebutkan dayasaing sebagai suatu level dimana negara—dalam kondisi perdagangan bebas dan kondisi market yang fair—bisa menghasilkan barang dan jasa yang dapat menjawab ujian dari persaingan   dan dapat terus  menjaga dan mengembangkan pendapatan rill bagi orangnya (OECD, 1992).

Terakhir, ada beberapa informasi yang saya kutip dari kementrian perindustrian RI. Data Kemenperin menunjukkan investasi di sektor manufaktur sepanjang tahun 2013.  Tercatat ada senilai Rp 51,17 triliun penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan 1.225 proyek. Sedangkan, oleh penanaman modal (Kemenperin, 2014)

Penyusun : Radikal Yuda Utama

Management FEB UGM

Referensi :

Chang, H-J. and Lin, J. . (2009). ‘Should industrial policy in developing countries conform to comparative advantage or defy it?’. Development Policy Review, 27(5).

Forbes. (2015, May 05). Forbes. Retrieved from www.forbes.com: http://www.forbes.com/global2000/

Hatzichronoglou, T. (1996). Globalisation and Competitiveness: Relevant Indicators’. OECD Publishing: OECD Science, Technology and Industry Working Papers, 1996/05.

Kemenperin. (2013). Mengukur Kesiapan Industri Nasional Jelang AEC 2015, Media Industri No.02.2013. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.

Kemenperin. (2014). Investasi Menunggu Pemerintahan Baru, No.02.2014. -: Kementerian Perindustrian.

OECD. (1992). Technology and the Economy. The key relationships. Paris: OECD.

Tyson, L. (1992). Who’s Bashing Whom: Trade Conflict in High Technology Industries, . 1992: Institute for International Economics.

UNIDO. (2013). The Industrial Competitiveness of Nation, Looking Back, Forging ahead. Vienna: United Nations Industrial Development Organization.