Well-being, welfare, stady state, kesejahteraan, makmur, atau istilah apapun untuk mendeskripsikan kelayakan hidup dan kebahagiaan hidup akan diletakkan sebagai salah satu orientasi hidup setiap manusia. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar, ya tentu siapa yang ingin hidup di tengah kesulitan dan kemiskinan?!

Orang bilang, Indonesia punya kesempatan besar untuk menjadi negara yang makmur. Jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan sumberdaya yang terkandung di bumi nusantara acapkali menjadi bukti pendukung semua klaim tersebut. Lantas bagaimana perkembangannya?

Berdasarkan informasi dari Boston Consulting Group (BCG) yang melakukan survey dengan tajuk Asia’s Next Big Opportunity: Indonesia rising middle-class and affluent consumers (2013), BCG menyebutkan terdapat sekitar 74 juta penduduk Indonesia (dari total sekitar 248 juta) yang memasuki kategori  kelas menengah. Menurut perusahaan konsultan ini, jumlah tersebut akan berlipat ganda menjadi 141 juta penduduk di tahun 2020. Artinya, sampai tahun 2020 setiap tahun 8-9 juta penduduk Indonesia akan memasuki gerbang kelas menengah (Djatmiko, 2015)

Sementara itu, Mc Kinsey Global Institute (MGI), dalam laporannya yang berjudul The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, mengungkapkan bahwa Indonesia memiilki potensi pertumbuhan penduduk dalam kelas mengenah menjadi 135 juta orang tahun 2030 dari 45 juta orang tahun 2010. Indikator yang digunakan MGI untuk mengkategorikan kelas menengah yaitu penduduk dengan pendapatan lebih besar atau sama dengan US$ 3.600 per tahun

Sementara ADB merumuskan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran  US$ 2-20 per hari. Dengan angka ini menurut ADB julmah kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 134 juta (2010) atau sekitar 56% dari total penduduk Indonesia.

Pergeseran penduduk ke kelas menengah, apakah merupakan suatu kondisi yang dapat dikatakan baik? Tentu saja. Namun, sebenarnya kondisi seperti ini juga tetap menjadi suatu tantangan bagi kita semua, dengan pergeseran taraf hidup yang terjadi pada masyarakat tentu akan mendorong konsumsi domestic pada barang-barang yang sedikit premium. Dengan peralihan gaya hidup seperti ini, tentu akan menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produsen. Terlebih lagi dengan pola kehidupan masyarakat kita yang memang sudah sangat konsumtif, itu semua membuat senyum para produsen dan agen-agen kapitalis merekah lebar.

Sebagaimana informasi yang kita peroleh dari BCG, Mc Kinsey, dan ADB, hal tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa semakin dibutuhkan pengamanan dan edukasi yang baik untuk mengelola pola konsumsi atau pengeluaran dari masyarakat. Pola kehidupan masyarakat sangat besar pengaruhnya bagi social-change suatu negara secara keseluruhan. Betapa tidak? Penduduk adalah actor utama dibalik eksistensi suatu bangsa.

Barangkali ada baiknya kita lihat salah satu hasil survey yang dilakukan oleh  majalah SWA terkait pola kehidupan masyarakat kita  (SWA, 2015) salah satu penilaiannya yaitu produk yang paling sering dibeli (dengan cara online) yaitu pakaian 61,8%, kemudian tiket pesawat 19,4% dan di peringkat ke tiga ada smartphone 10,9%. Memang tidak cukup rasanya  melihat informasi dari satu pihak saja, namun setidaknya hal ini menggambarkan pola konsumsi tersebut. Jika dilihat dari sisi kepemilikan produk keuangan, survey tersebut mengungkapkan produk yang paling banyak dimiliki yaitu tabungan umum 97,3%, kemudian asuransi 49,4%, dan kartu kredit 36,1%. Sebagai tambahan informasi saja, pola hidup masyarakat kini pun telah sangat dekat dengan teknologi khususya smartphone atau gadget. Hal ini diperlihatkan oleh  survey device yang digunakan untuk belanja online oleh para responden yaitu menggunakan  aplikasi di smartphone sebanyak 45,2%, web smartphone 30,7%, baru kemudian menggunakan web di laptop 18,0%, PC 1,3%. Angka menunjukkan setidaknya 75,9% responden pada survey tersebut menggunakan smarphone. Dengan kita mengetahui berbagai kecenderungan yang ada pada masyarakat, maka sejatinya kita akan dapat merumuskan berbagai hal untuk mendapat suatu formula yang layak diterapkan dan disebarluarkan.

Sejatinya, pihak yang paling bertanggung jawab untuk hal tersebut adalah kita, generasi muda. Dengan tidak mengesampingkan peran pemerintah dan institusi lain, posisi strategis mahasiswa mengambil porsi lebih besar. Pertama, mahasiswa ibarat jembatan antara seorang professional dan masyarakat. Kedua, potensi konstribusi berupa pemikiran, tenaga, dan waktu yang didukung oleh iklim kaula muda yang inovatif dan kreatif. Ketiga, pemangku estafet kepemimpinan, ya mau tidak mau, generasi akan terus berganti dan singgasana pun akan  berpindah tangan kepada kita (tanpa harus ada kudeta, heh)l.

 

Penyusun : Radikal Yuda Utama

Artikel : www.muslimplus.net

22.11 pm  09 Agustus 2015

@Pogung Dalangan, Yogyakarta

References

Djatmiko, H. E. (2015, Juni 8-17). Membidik pasar yang terus tumbuh. Menyergap Ranumnya Pasar Kelas Menengah, pp. 26-28.

Nielsen. (2014, 03 19). www.nielsen.com. Retrieved from Nielsen: http://www.nielsen.com/id/en/insights/news/2014/meet-the-new-indonesian-consumer-class-of-2020.html

SWA. (2015). SWA – Menyergap Ranumnya Pasar Kelas Menengah (SWA12 | XXXI | 8-17 Juni 2015. -: SWA.