Interaksi yang ekstensif antara pemerintah pusat dan daerah serta intensif pada daerah terpencilmerupakan bagian penting yang mendorong akselesari kemajuan daerah. Cakupan dan luas interaksi pemerintah pusat dan daerah harus terbangun dengan landasan dan dasar yang jelas dan kuat.
Di dunia pendidikan sendiri, salah satu fokusyang perlu diperhatikan yakni pemerataan kesempatan (Occasion Distribution) bagi seluruh pelajar yang ada di suatu provinsi atau kabupaten. Tidaklah hal yang harus ditutupi bahwa ketika ada suatu even pendidikan, atau sebuah ajang kompetisi atau sebagainya, yang terjamah hanyalah sekolah-sekolah yang ada pusat sebuah kabupaten/kota. Beranjak dari itu, anak-anak yang berada jauh dari pusat hanya akan berkutat dengan hal-hal lama yang statis dan lamban. Ini menjadi penyebab lambatnya roda kemajuan pendidikan di daerah terpencil. Penulis perhatikan, di saat suatu even pendidikan dilaksanakan, secara faktual jelas akan menambah wawasan dan memberikan gairah-gairah baru, ide-ide yang terinovasi oleh pakar-pakar. sehingga memunculkan istilah anak tiri bagi anak-anak desa terpencil karena balancing of government system yang buruk untuk bisa menggerakkan pendidikan secara koheren. Akhirnya yangterjadi adalah kesenjangan kualitas pendidikan di daerah pusat dengan daerah terpencil yang begitu panjang. Bila diperlebar lagi, pendidikan lebih terpusat di pulau Jawa. Seperti Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2012 lalu, dominan peraih medali ialah pelajar yang berdomisili di Pulau Jawa. Berdasarkan tuturan T. Dhafin Rukmanda (Medali Perak Matematika) saat mengikuti seleksi Pelatnas untuk ke Internasional, “…kelemahan secara umum untuk pelajar di luar Jawa ialah pada sektor pemerataan kesempatan. Saat materi Pelatnas diberikan kepada peserta seleksi pelatihan nasional, untuk kemudian di jaring yang terbaik untuk mewakili Indonesia ke level Internasional kebanyakan pelajar Jawa, telah belajar materi itu melalui pembimbing-pembimbing jauh sebelumnya. Kita sudah ketinggalan kereta…”
Bila kita kaji secara teoritis,secara umum pemerintah daerah harus berperan optimal dalam mewujudkan fungsi pendidikan nasional, yakni, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 3)
Demikian awalnya, di saat terjadinya komitmen untuk membentuk NKRI, tanah air tercinta ini, ada empat pokok tujuan Negara yang tercantum dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia, pertama, memajukan kesejahteraan umum; kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa; ketiga, ikut melaksanakan ketertiban dunia; dan keempat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Realita lapangan yang tidak sesuai antara konseptual dan faktual yang terimplementasi menjadi problema yang mengkhawatirkan. Inilah menjadi penghambat kemajuan pendidikan desa terpencil untuk bisa sejajar dengan pendidikan yang ada di daerah lingkaran pusat atau berada dekat dengan pemerintahan. Tidak sampai di sana, cita-cita pemerintah daerah dan juga cita-cita kita semua untuk menjadikan satuan pendidikan di desa yang layak menuju taraf global hanya akan menjadi wacana belaka. Tanpa realisasi. Tanpa gerakan.Seperti yang tercantum dalam dokumen perencanaan Pemerintah Kabupaten/Kota yang secara khusus mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Dan juga sesuai amanat UU Sisdiknas, Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya serta satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Otoritas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam konteks Otonomi Daerah di bidang pendidikan secara formal mengharuskan pembangunan infrastruktur pendidikan atau mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan formal, pendidikan non-formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat.
“…pemertintah daerah tidak harus “Santun” kepada atasan untuk mendapatkan keadilan bagi daerah. Kita harus jemput bola, karena jika hanya menunggu, tidak akan pernah membuahkan hasil…” tutur Bpk. Letjen TNI (Purn) H. Syarwan Hamid mantan Mendagri RI.
Konsep pemerataan kualitasdalam hal ini kita kerucutkan pada pembinaan kualitas pendidikan melalui sikon kompetitif peserta didik atau pelajar dalam menempa dan mengeksplorasi kualitas (bukan kuantitas) dan mutu diri menuju pendidikan global. Memang bukan perkara mudah untuk bisa mensejajarkan kualitas siswa/idi daerah yang terpencil dengan pusat pemerintahan.Semua komponen perlu bergerak bersama dan saling merangkul bahu, baik secara vertical dan horizontal. Berbeda halnya jika bicara soal penyetaraan kuantitas (seperti fasilitas, sarana dan prasarana) ini lebih mudah untuk diwujudkan karena sifanya fisik dan riil. Sedangkan mutu dan kualitas terkait dengan kejiwaan yang notabenenya tidak tampak secara nyata. Walau berbeda secara dimensi, tapi keduanya harus sejalan dan sama-sama bisa di ukur. Ukuran pemerataan ini hanya akan terwujud seimbang jika sikap“saling merangkul” dapat terimplementasi secara baik dan koheren
Penyusun : Radikal Yuda Utama
Esai Otonomi Daerah APKASI #latepost, 2013
Referensi :
Buku Isran Noor
Dr.H. Wisnu S. Erlianto dkk. 2009. Perjuangkan Terus Otonomi Khusus Demi Kesejahteraan Masyarakat Riau. Pekanbaru: Fornas Otsus Riau
Informan:
Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid (69 Th)
Tubagus Dhafin Rukmanda (18 Th)