“Competition has always been central to the agenda of companies..” (Michael E. Porter:1990) Bisnis memang tidak akan ada habisnya. Persaingan untuk mencapai keunggulan komparatif ketimbang pemain-pemain di Industri menjadikan bisnis sebagai suatu yang penuh tantangan, dinamis, dan penuh inovasi.

Ditengah tumbuh-kembang industrialisasi yang pesat di Indonesia, setiap perusahaan akan selalu pasang kuda-kuda untuk bisa menekan cost atau meningkatkan profit. Ya, cuman dua itu. Meskipun belakangan ini, muncul gerakan ekonomi hijau dengan embel-embel sustainabilitas. Tetap saja, profit merupakan bidikan utama: golden goals!

Salah satu industri jasa yang seringkali menggelitik kita dalam berbagai perbincangan etis ketidak etisan, adil ketidak adilan, manusiawi ketidak manusiawian, sejahtera ketidaksejahteraan, yaitu terkait problematika jasa outsourcing, yang juga dikenal dengan Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Praktek PKWT dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF dan World Bank sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi 1997.

Mengapa ada Outsourcing? Setidaknya ada dua alasan utama untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu fleksibilitas dan biaya.[1] Pertama, outsourcing memberikan fleksibilitas yang tinggi kepada manajer. Kenapa fleksibilitas yang tinggi dibutuhkan? Hal ini dikarenakan akan kebutuhan sumberdaya manusia yang cenderung sangat fluktuatif sehingga forecasting tenaga kerja tidak bisa dipastikan. Selain itu, outsourcing dianggap tepat, lantaran sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang terampil di suatu daerah.

Kedua, outsourcing efisensi biaya tenaga kerja. Kenapa hal itu bisa terjadi? Mari kita lihat. Pertama, dengan adanya outsourcing perusahaan tidak perlu membagi keuntungannya kepada pegawainya. Kedua, manajer bisa mengikat kontrak pada saat ada proyek saja. ketiga, manajer tidak perlu mengeluarkan biaya investasi training jangka panjang bagi pegawainya. Keempat, outsourcing merupakan siasat perusahaan untuk menghilangkan dana pensiun.

Berdasarkan data BPS sampai pada Februari 2014, pendidikan tertinggi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja didominasi oleh lulusan SD ke bawah dengan persentasi 46.8 persen (55,31 juta orang). Jumlah ini mengindikasikan bahwa secara umum, kualitas SDM Indonesia memang belum kompeten.

Ditambah lagi, jika lihat jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan menempati urutan pertama yakni sekitar 36,7 persen (43,35 juta orang). Seandainya kita asumsikan faktor-faktor yang lain konstan, maka bisa dikatakan bahwa sebagian besar buruh/karyawan di Indonesia memiliki kualitas yang tidak kompeten. Jika seandainya kita kembali bercermin pada ketersediaan tenaga kerja yang dimiliki Indonesia saat ini, maka perusahaan manasaja tentu saja akan sangat prefer menerapkan  outsourcing. Karena, perusahaan jelas akan sangat diuntungkan dengan mempertahankan sistem ini.

Atas dasar ini pulalah mayoritas perusahaan di eropa tahun 2008 sebagaimana survei yang dilakukan Ernst & Young,  juga beranjak dari sistem lama ke sistem outsourcing. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa 7 dari 10 perusahaan Eropa telah mengalihkan sedikitnya satu fungsi bisnis mereka. Rata-rata Eropa 70%, Belgia 81%, Spanyol 77%, UK 71%, Jerman 70%, Italia 67% dan Perancis 63%. Penghematana biaya dan peningkatan produktivitas menjadi alasan utama mengambil keputusan outsourcing sekitar 49%[2].

Meski demikian, jasa outsourcing bukan berarti hidup tanpa cela. Kelemahan yang jelas akan muncul dengan adanya jasa outsourcing ialah sulitnya mengontrol kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan, pegawai rekrutan biasanya lemah dalam hal pengetahuan, prosedur kerja, dan visi perusahaan sehingga berefek pada kurangnya komitmen pegawai dalam bekerja. Ditambah lagi, sering munculnya tindakan-tindakan preventif serikat buruh yang menentang outsourcing. Kepentingan dua belah pihak—perusahaan dan serikat buruh—yang berbeda ini acapkali berujung pada pertikaian yang diekspresikan buruh melalui mogok kerja, demontrasi dan sebagainya. Tentu saja, aksi-aksi semisal ini mengganggu performance suatu perusahaan. Ditambah lagi tidak jarang pula terjadinya praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing yang membawa efek fragmentatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh.

Ketidakpastian kerja yang tinggi pada outsourcing juga turut menjadi efek negatif bagi satu pihak (pegawai). Kondisi pegawai outsourcing sangat rentan terhadap pemutusan hubungan kerja. Tentu hal ini menjadi sebab munculnya ketidaknyamanan bagi buruh.

Bukan saja tentang tingkat ketidakpastian kerja yang harus dihadapi para buruh. Tapi, yang lebih menyakitkan tetesan keringat buruh dihargai tidak seberapa. Perusahaan mencoba untuk menggerus profit yang lebih besar dalam ketermarginalan para buruh. Timpang tindih yang terjadi dalam sistem outsourcing tampak dengan jelas tidak berpihak pada masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai buruh.

Perdebatan antara elit pengusaha minoritas yang punya kekuatan dan buruh mayoritas yang punya jumlah merupakan hal lama yang tidak kunjung selesai.

Adapun jalan tengah yang mungkin diambil oleh kedua belah pihak ialah:

Pertama, jasa outsourcing yang diberlakukan saat ini, benar-benar harus disesuaikan dengan standar-standar dari direktur pekerjaan umum. Tuntutan buruh yang mengecam outsourcing hendaknya di layani dengan penjelasan yang jelas antara berbagai pihak yang saling terkait, baik itu manajer perusahaan, pemerintah, dan buruh.

Kedua, buruh dan perusahaan harus tarik ulur benang, dalam artian tidak bertindak sesuai keinginan tapi lebih cenderung pada realita dan kebutuhan. Jika oleh perusahaan outsourcing dianggap sebagai langkah dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi, karena buruh terikat dengan perusahaan, sehingga ketika ada pekerja yang kurang produktif, dengan cepat perusahaan bisa melakukan unpowermant dan menggati dengan pekerja yang baru.

Ketiga, outsourcing dilakukan dengan jangka kontrak kerja yang lebih panjang. Kontrak yang berlaku saat ini barangkali per enam bulan, bisa diperpanjang menjadi per satu tahun atau per satu setengah tahun, sehingga pekerja pun bisa diberi nafas untuk menjamin kehidupannya selama kontrak berlaku. Jikapun nanti perusahaan melihat bebrapa pekerja yang kurang produktif, bisa dilakukan unpowerment setelah jangka kontrak tersebut.

Referensi:

BPS, Mei 2014

Fred L. Fry, Charles R. Stoner, and Richard E. Hattwick. Business an Integrative Approach 3ed. New York: McGraw-Hill,  P.327

Geroge and Jones. 2014. Contemporary Management 8ed. Singapore: Mc Graw Hill Education, p.374

http://www.stieww.ac.id/?p=726  akses 12/03/2015

http://www.kemenperin.go.id/artikel/6717/Sektor-Jasa-Industri-Dipetakan  akses 11/03/2015

[1] Geroge and Jones. 2014. Contemporary Management 8ed. Singapore: Mc Graw Hill Education, p.374

[2] http://www.stieww.ac.id/?p=726  akses 12/03/2015